Kamis, 29 Januari 2009

Makalah sosiologi Hkm

BAB I
PENDAHULUN

A. Latar Belakang
Sosiologi Hukum Sistematis memiliki tugas untuk menelaah (studying) hubungan fungsional antara kenyataan sosial dan jenis-jenis hukum. Perlu dibedakan dengan jenis antara jenis-jenis hukum (Kinds of Law), kerangka hukum (Frameworks of Law), dan sistem-sistem hukum (Systems of Law). Hanya satua-satuan koleratif yang sejati.
Kelompok-kelompok yang menjelmakan kerangka-kerangka hukum, sedangkan kerangka-kerangka hukum ini sudah merupakan sintese dan keseimbangan-keseimbangan (equalibria) antara berbagai jenis hukum. Kelompok yang dibangun oleh sintese dan keseimbangan antara berbagai benuk kemasyarakatan (sociality). Bersama dengan itu , masyarakat yang serba majemuk. Dalam seistem hukum ini bersaingan dan bergabunglah berbagai kerangka hukum, yang masing-masingnya nerupakan suatu sintese pula dari berbagai jenis hukum.
Contohnya, “ Undang-Undang Koperasi”, Undang-Undang Serikat Dagang”, “Undang-Undang Negara, dan lain-lain, hanya merupakan kerangka-kerangka hukum yang di dalamnya bersaing dan bergabung berbagai jenis hukum “Hukum Feodal”, “Hukum Borjuis”, “Hukum Amerika”, “Hukum Perancis”, Hukum Aktuat” (Aktual Law), “Hukum Arkais, (Achais Law) adalah sistem-sistem hukum yang salaing bertentangan dan mencari keseimbangan.

B. Perumusan Masalah
Masalah jenis-jenis hukum tidak bergantung kepada masalah-masalah tipe-tipe, kelompok dan jenis masyarakat-masyarakat yang menyeluruh, dan terkait kepada masalah bentuk-bentuk kemasyarakatan dan lapisan-lapisan dari kedalamannya, yakni terkait kepada mikrososiologi.
Dalam fisika moderan telah diadakan pembedaan antara “makrofisika” dan “mikrofisika”. Makrofisika dikuasai oleh hal-hal suatu ketetapan-ketetapan yang berdasarkan perkiraan mengenai kemungkinan-kemungkinan, sedangkan Mikrofisika berdasarkan perkiraan tentang elektro-elektronya, gelombang-gelombang dan “kuantum-kuantum” yang dalam hal-hal yang tidak menentu jauh lebih banyak. Demikianlah dalam Sosiologi adalah mungkin dan dikehendaki sekali jika kita dapat sampai kepada unsure-unsur “mikroskopis” yang paling bersahaja dan tak dapat dikurangi lagi , yang merupakan bagian dari tiap-tiap satuan kolektif yang nyata. Unsur-unsur mikrososiologis yang demikian itu sama sekali bukanlah individu-individu, melainkan cara-cara orang terikat kepada keseluruhan dan oleh keseluruha, yakni bentuk-bentuk kemasyarakatan.
Justru mengenai “electron-elektron sosial” maka kemajemukan ragam yang bergerak dan ketidak tentuan dalam kehidupan sosial sangat menonjol sekali. Mungkin sangat berlawanan asas untuk menghubungkan “jenis-jenis hukum “ kepada “bentul-bentuk kemasyarakatan dan lapisan-lapisan kedalaman dalam kenyataan sosial”. Yakni kepada unsur-unsur yang tak tetap “anarkistis” dalam kehidupan sosial.
Untuk mengikat nasib hukum kepada nasib Negara dalam suatu kelompok yang khas, sekali dengan seenaknya saja dipersamakan orang dengan negara. Dari sini hanya diperlukan satu langkah lagi untuk mengikat nasib hukum kepada nasib Negara dan menganggap pembedaan atau pemisahan atara hukum publik dan hukum privat sebagai pemecah satu-satunya dari permasalahan banyaknya jenis-jenis hukum. Tetapi hak-hak istimewa, kadang kepada sektor hukum, dan pada waktu lain kepada sektor hukum yang lain pula dan pembedaan itu tidak dapat dipakai kepada lautan hukum yang tidak tunduk kepada negara.
Tak dapat disangkal lagi, bahwa dalam kehidupan sosial yang nyata, hukum mempunyai daya mengatur, hanya jikalau secara relative sudah dipersatukan dalam suatu kerangka hukum, apalagi dalam satu sistem melalui kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat yang serba meliputi menjadi utama dalam kehidupan hukum daripada bentuk-bentuk kemasyarakatan. Pengamatan ini dapat diuji, karena kita dapat mengetahui dan mengakui bahwa mungkin hukum bersifat memaksa, tetapi paksaan itu bukanlah syarat pokok bagi hukum,. Paksaan dari hukum, dalam pengertian bahwa tindakan-tindakan yang telah ditentukan sebelumnya dan diambil terhadap pelanggar hukum, hanyalah dapat dijalankan oleh satuan-satuan kolektif yang nyata, kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat serba meliputi , bukan oleh bentuk-bentuk kemasyarakatan. Pemaksaan-pemaksaan itu lebih melindungi kerangka-kerangkaatau sistem-sistem hukum dari pada jenis-jenis hukum, yang dapat memperoleh faedah dari paksaan hukum dengan cara yang tak langsung.
Tetapi sifat memaksa itu dalam arti yang sempit dalam kehidupan hukum yang bertentangan dengan konsepsi sanksi-sanksi dalam arti yang lebih luas dan lebih luwes dari berbagai macam reaksi yang menandakan sikap tidak setuju, selain itu, sanksi-sanksi dalam arti yang lebih luas hanyalah merupakan penkelmaan lahir dari katagori dasar dari jaminan sosial yang menjadi dasar efektifitas dari segala hukum.
Sekarnag setiap bentuk kemasyarakatan dalam keadaan-keadaan yang tertentu dapat menjadi dasar suatu jaminan semacam ini, dan dengan demikian menjadi tempat lahirnya hukum, dilindungi atau tidak oleh paksaan-paksaan yang dilakukan oleh persatuan kelompok.
Fakta Normatif yang dapat melahirkan hukum, yakni menjadi sumber utama atau sumber materiilnya, maka kita dapat menyimpulkan , fakta normatif dari kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakatyang menyeluruh dalam kehidupan hukum adalah lebih utama dari fakta-fakta normatif dari kelompok-kelompok khusus. Hal ini tidak menghalangi setiap bentuk masyarakat untuk melahirkan jenis hukum sendiri, mereka melakukan peranan ini adalah peran sebagai sumber-sumber utama hukum dan peranan ini adalah peranan yang sangat menentukan karena tidak mungkin untuk memahami kehidupan hukum dari kelompok-kelompok dan masyarakat yang serba meliputi tanpa menunjukan kepada kehidupan hukum dari bentuk-bentuk masyarakat.
Pengelompokan yang aktif mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk melahirkan super struktur yang terorganisir karena, organisasi sosial merupakan hasil dari aksi sosial dan hukum yang dihasilkan dapat menegaskan diri dan berlaku bebas dari segala organisasi, baik organisasi ini telah dilahirkan atau sedang dalam pembentukan . Tapi berdasarkan hakekatnya dari suatu super struktur yang tang terorganisasi dapat dengan langsung dipergunakan sebagai criteria dari tiap-tiao kemasyarakatan yang aktif dan setiap kelompok aktif pula, dank arena itu, juga dari kemauan mereka sebagai penghasil-penghasil hukum.
Pertentangan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan pada suatu pihak, dan tipe-tipe kelompok serta masyarakat yang serba meliputi pada lain pihak, dan tipe-tipe kelompok serta masyarakat yang menyeluruh pada lain pihak menunjukan kemampuannya untuk diterapkan kepada analisis kehidupan huku. Jenis-jenis hukum yang bersaing di dalam kerangka hukum menurut dua aspek , Aspek Horizontal dan Aspek Vertikal.
a. Sudut pandang Horizontal
Menganggap jeniz-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari kedalaman yang sama.
b. Sudut pandang Vertikal menganggap jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari lapisan-lapisan kedalam yang tindih menindih dalam kenyataan hukum. Setiap bentuk kemasyarakatan yang aktif yang meweujudkan suatu segi dari cita kebenaran, dan setiap lapisan ke dalam dari kenyataan hukum, mempunyai dua tugas :
1. Menelaah jenis-jenishukum sebagai fungsi dari berbagai macam bentuk masyarakat
2. Menelaah jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi lapisan-lapisan kedalam yang dapat ditemuka didalam setiap bentuk kemasyarakatan, apabila bentuk kemasyarakatan itu menjadi fakta normatif.
BAB II

A. Bentuk- Bentuk Kemasyarakatan dan Jenis-jenis Hukum

1. Klasifikasi Bentuk-Bentuk Kemasyarakatan
Klasifikasi Horizontal dari bentul-bentuk kemasyarakatan berkembang pada dua tingkat kedalam yang berlainan :
a. Kemasyarakatan yang spontan
Kemasyarakatan yang suntan dijelmakan dalam keadaan-keadaan langsung (spontaneous states) dari akal budi kolektif, baik berupa praktek-praktek yang dibimbing oleh pola yang luwes, mau pun perbuatan kolektif yang melahirkan hal-hal baru serta bersifat kreatif.
Bahwa lapisan yang spontan bersifat asasi dan perbedaan-perbedaan yang jelas dapat diadakan antara super struktur semata dengan memperhatikan sampai di mana ia berakar didalam struktur-struktur bawah, maka kita harus menangguhkan pembahasan lapisan-lapisan vertical dari kenyataan hukum.
Berbagai jenais kemasyarakatan spontan hanya mengadakan tekanan-tekanan ke dalam, bertindak dengan spontan dalam kesadaran kita menganggapnya sebagai suatu tekanan dari suatu bentuk kemasyarakatan yang spontan kepada yang lain.
b. Kemasyarakatan yang terorganisasi dan direfleksikan
Kemasyarakatan yang terorganisasi, sebiknya terikat kepada pola tingkah lakukolektif dalam arti dibimbing oleh pola-pola yang baku (chrystalized) dalam skema-skema yang dibuat dengan sengaja, yang telah ditentukan terlebih dahulu dan terpusat (centralized).
Kemasyarakatan yang terorganisir menjalankan sanksi-sanksi (santons) dan pemaksaan-pemaksaan dari luar, kemasyarakatan yang terorganisasi ini terpencil, jauh terpisah oleh jurang adakalanya lebar, adakalanya sempit dari struktur kebawah

Makalah Poligami

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul
Pemilihan judul dalam suatu makalah sangatlah penting, hal ini dikarenakan, alasan pemilihan judul merupakan faktor utama dalah pembuatan sebuah makalah. Dalam makalah ini saya mengkaji tentang POLIGAMI. Yang dimana kita tahu bahwa poligami sekarang ini merupkan sebuah polemik yang besar dikalangan masyarakat Indonesia.
Poligami sekarang dijadikan sebagai ajang tradisi dikalangan para suami-suami. Padahal kita tahu sendiri bahwa poligami tersebut bukanlah ha yang wajib dilakukan oleh para suami.
Dewasa ini banyak masyarakat khususnya kaum suami yang salah mengartikan arti poligami sesungguhnya. Padahal kita tahu bahwa poligami diperbolehkan apabila ada sesuatu hal yang dimana seorang isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
Tapi nyatanya banyak sekali orang yang menganggap bahwa poligami itu boleh, tapi ada juga yang tidak. Poligami sangat menjadi kontroversi si sebagian kalangan masyarakat, ada masyarakat yang pro dan ada juga yang kontra. Semua menganggap apa yang mereka perjuangkan itu benar.
Dalam makalah ini saya akan menjelaskan hubungan poligami dengan sejarah, hubungan poligami dengan agama islam dan pengertian poligami itu sendiri.

B. Perumusan Masalah
Kita pasti sudah tahu, bahwa poligami akhir-akhir ini sering meresahkan para isteri-isteri, yang resah akibat mewabahnya poligami. Hal seperti ini yang membuat permasalahan semakin rumit. Poligami sendiri bukanlah hal yang sangat meresahkan, tetapi masyarakat atau orang-orang tertentu saja yang terlalu mengekspos hal tersebut.
Poligami sebenarnya diperbolehkan bagi para suami yang telah menikah, apabila isteri terdahulunya tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri atau isterinya tersebut dalam keadaan sakit atau isterinya tersebut tidak dapat memberikan keturunan.
Hal tersebut diperbolehkan tetapi atas persetujuan si isteri terdahulunya juga, apabila isterinya memperbolehkannya maka niat untuk berpoligami pun syah menurut agama. Selanjutnya suami tersebut harus bisa berprilaku adil antara si isteri tua dan isteri mudanya, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan atau kecemburuan yang dapat mengakibatkan putusnya tali silahturahmi.
Poligami sendiri mengandung arti bahwa seorang suami melakukan pernikahan ke 2nya tanpa menceraikan si isteri tuanya dengan melakukan permintaan izin terlebih dahulu terhadap isteri tua. Artinya pernikahan tersebut dilakukan tanpa menceraikan si isteri tua. Asalkan dilakukan dengan niat yang baik, atas izin isteri terdahunya dan dapat berbuat adil terjadap keduaduanya.
Tetapi ada juga isteri yang tidak mau dipoligami artinya ia syah-syah saja, sebagai wanita pasti sangat berat untuk dapat berbagi suami untuk wanit alain. Apabila si suami telah meminta izin kepada si isteri tua untuk berpoligami dan isteri tuanya tersebut tidak memperbolehkannya, maka apabila suaminya tersebut tetap melakukan pernikahan tanpa restu dari isteri tua maka pernikahan yang dilakukannya tersebut adalah haram hukumnya.
Yang jadi permasalahan disini adalah salah arti dari masyarakat akan pengertian poligami, kita apun tahu bahwa poligami sekarang ini sangat mengganggu sebagian kalangan dan sangat meresahkan masyarakat, dari kalangan masyarakat biasa, para perjabat dan anak-anak.
Dan yang akan diperbaiki disini adalah cara pandang seseorang akan poligami tersebut , Dan dalam makalah ini saya akan menjelaskan apa dan bagaimana hubungan poligami tesebut di dalam ajaran agama islam dan dalam hubungan sejarah.

BAB II

Islam adalah agama universal yang mengatur segenap tatanan kehidupan manusia. Sistem dan konsep yang dibawa Islam
sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim, tapi dapat dinikmati siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas ruang dan waktu, tetapi selalu laik diterapkan kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan faktor-faktor kekhususan suatu masayarakat. Semakin utuh konsep itu diaplikasikan, semakin besar manfaat yang diraih.
Di sisi lain, syariat Islam banyak dipahami orang secara keliru. Penyebab utama adalah factor “keawaman” terhadap hukum Allah ini. Juga tak bisa dipungkiri keterlibatan Barat dalam memperburuk asumsi itu.
Allah SWT yang menciptakan manusia, tidak mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk sikap, sifat dan kecenderungan manusia dengan segala tabiatnya, baik dia jenis laki-laki maupun wanita, baik secara individu maupun sosial.
Di antara beberapa hukum yang mendapat perhatian Allah SWT dalam kaitannya dengan manusia adalah hukum poligami (ta’addud zaujat). Poligami merupakan persoalan kemanusiaan dan masyarakat yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Bukan karena Islam telah menurunkan syariat tentang itu, tapi jauh sebelumnya persoalan poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di setiap zaman.
Pada zaman kini pun banyak kita temukan pendapat pro dan kontra di
sekitar persoalan ini. Sebagian masyarakat dewasa ini banyak melihat dengan
sebelah mata terhadap lelaki yang mempunyai lebih dari satu isteri. Bahkan
orang yang berpoligami terkadang menjadi buah bibir dan cemoohan di masyarakat.
Banyak tuduhan negatif yang dilemparkan kepada mereka yang berpoligami. Hal ini disebabkan suatu kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka sering menimbulkan masalah dalam keluarganya. Di sisi lain ada orang yang berpandangan bahwa poligami adalah sunnah Rasulullah SAW sehingga mendorongnya untuk melakukan ibadat sunnah sebanyak-banyaknya, termasuk berpoligami.
Bahkan ada sebagian orang berpendapat bahwa poligami adalah suatu kewajiban sesuai dengan ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa kalimat (amr) perintah dalam Al-Qur’an tersebut mengandung hukukm wajib. Lalu bagaimana sebenarnya Islam menyikapi persoalan ini?. Tulisan ini mencoba mengetengahkanpersoalan di atas menurut pandangan Islam. Harapan penulis semoga tulisan yang sederhana ini menambah wawasan pengetahuan kita tentang ajaran Islam universal, meskipun penulis sadar bahwa hal ini belum sepenuhnya mendudukkan persoalan pada proporsinya yang sesuai dengan Islam.

A. Poligami Dalam Tinjauan Historis
Persoalan poligami bukan hanya eksis pada masa Islam, ia telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa terdahulu., seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia. Bahkan bangsa Cina pernah mempunyai undang-undang yang membolehkan laki-laki berpoligami dengan 130 wanita. Sejarah Cina juga pernah mencatat bahwa salah seorang bangsawannya pernah memiliki isteri sebanyak 30.000 isteri.
Bangsa Yahudi pun tidak berbeda dengan bangsa lainnya. Ia
membolehkan pengikutnya berpolgami. Bahkan para nabi Bani Israil, tanpa
terkecuali, mempunyai banyak isteri. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari orang merdeka dan 300 wanita dari kalangan hamba sahaya.
Dalam Bibel, meskipun tidak ada ayat-ayat yang menyentuh poligami,
tapi tidak ada satu ayat pun yang melarang poligami. Di sana Cuma ada nasehat
bahwa Tuhan telah menjadikan bagi laki-laki seorang isteri. Secara tersirat,
ayat ini mengandung pengertaian bahwa boleh berpoligami dalam situasi tertentu, sebab tidak ada yang menyebutkan bahwa bila seseorang kawin dengan isteri kedua disebut sebagai penzina. Meskipun dalam Bibel tidak disebutkan secara sarih, tapi surat Paulus menyebutkan bolehnya berpoligami. Surat Paulus itu berbunyi: “Seorang uskup hanya boleh memiliki satu isteri”. Bunyi surat ini mengandung arti boleh berpoligami bagi selain uskup.
Waster Mark, pakar sejarah perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua isteri.
Marthin Luther pun sering berbicara tentang poligami dan tak seorang
pun mengingkarinya. Pada tahun 1949 penduduk Bonn pernah mengajukan tuntutan kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum dibolehkannya poligami dalam undang-undang Jerman.
Memang para pakar telah banyak memuji hukum poligami, di
antaranya Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi
poligami pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam
Perjanjian Lama. Dalam sejarah pun pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan seorang yang telah masuk Islam untuk mencerai isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan untuk cukup dengan empat isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah telah terjadi poligami.

B. Poligami dan Islam
Dalam Islam masalah poligami sudah tidak asing lagi. Dan justrtu ramainya perbincangan tentang poligami lebih dikarenakan ia ada dalam hokum Islam yang dewasa ini Islam menjadi sasaran serangan kaum yang benci terhadap Islam, terlebih setelah timbulnya analisis dari seorang pakar futurulog Samuel Huntington yang menyatakan bahwa setelah runtuhnya masa perang dingin dengan Uni Soviet (komunis), akan terjadi pertentangan antara peradaban Barat dengan Islam.
Dalam menyikapi persoalan poligami, ada dua ayat dalam surat An-Nisa
yang saling berhubungan untuk mengambil suatu natijah hukum, atau paling tidak mengenal lebih proporsional kedudukan poligami dalam Islam.
Ayat pertama terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi: وان
خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب
لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم
ألاتعدلو فواحدة أو ما ملكت أيمنكم ذلك أدنى
ألا تعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Ani-Nisa: 3) Ayat berikutnya firman Allah SWT:
ولن تستطيع أن تعدلوا بين
النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل
فتذروها كالمعلقة وأن تصلحوا وتتقوا فا ن
الله كان غفورا رحيما
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu jangan kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(An-Nisa: 129)
Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan sebagaimana
yang dipahami pula oleh Jumhur muslimin sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in
dan masa tumbuhnya ijtihad sebagai berikut: Hukum poligami hingga empat
isteri adalah mubah, karena lafadz “fankihu” walaupun berupa amr
(perintah) tapi mengandung makna mubah, bukan wajib. Sebagaimana hal itu pun menjadi pendapat jumhur mujtahidin dalam setiap masa. Oleh karena itu
pendapat yang mengatakan bolehnya berpoligami lebih dari empat adalah
pendapat yang tidak berdasar.
Mubahnya hukum pilogami harus dengan syarat dapat berbuat
adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat
adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun demikian bila orang tersebut
melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya tetap sah menurut ijma’
(konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa. Para ulama sepakat,
sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah SAW, bahwa yang
dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam pengertian segi
materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan mu’amalah kepada isteri.
Ayat pertama menunjukkan persyaratan kemampuan memberi nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya. Hal ini berdasarkan lafadz “an laa ta’uulu” yang berarti jangan memperbanyak keluargamu. Ini merupakan tafsir ma’tsur dari Imam Syafi’i. Persyaratan ini merupakan syarat keagamaan bukan syarat qodlo’ (sah atau tidaknya perbuatan).
Ayat kedua memberi gambaran bahwa berbuat adil dalam mencintai isteri-isteri adalah suatu hal di luar kemampuan. Oleh karena itu sang suami hendaknya jangan terlalu berpaling membiarkan isteri pertama sehingga terkatung-katung, digauli tidak, diceraikan pun tidak. Tapi hendaknya sang suami dapat menggaulinya dengan lemah lembut dan baik semampunya, sehingga dapat meraih cintanya lagi. Oleh sebab itu ketika Rasulullah SAW berusaha berbuat adil terhadap iateri-isterinya beliau berkata: اللهم
هذا قسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا
أملك
“Ya Allah, inilah bagaianku yang ku miliki, janganlah Kau
hukum aku pada apa yang tak ku miliki” Namun demikian, di sisi lain ada
sebagian orang memahami kedua ayat di atas sebagai sesuatu larangan
berpoligami. Mereka mendasrkan pendapatnya bahwa ayat pertama mensyaratkan adil terhadap isteri-isteri, sedangkan ayat ke dua menunjukkan kemustahilan melakukannya. Sehingga, menurut mereka, poligami disyaratkan dengan suatu syarat yang mustahil terwujud, jadi poligami adalah dilarang.
Tentunya pendapat mereka ini mempunyai kelemahan dan dapat dibantah dari beberapa tinjauan:
Bahwa dalil yang menjadi syarat pada ayat pertama bukan adil yang
disebutkan pada ayat kedua. Yang dimaksud dengan adil pada ayat pertama
adalah adil yang masih mungkin dapat dilakukan suami, yaitu adil yang
bersifat materi seperti pakaian, nafkah dan lain sebagainya. Sedangan adil
yang tidak mungkin terwujud –seperti yang tersebut pada ayat ke dua- adalah
adil maknawi (abstrak) seperti rasa cinta dan kecendrungan hati. Sebab
biasanya bila seorang kawin lagi dengan wanita kedua, ia lebih cenderung
berpaling dari isteri pertama. Namun demikian, adil bersifat materi tetap
menjadi syarat kelangsungan berpoligami.
Allah hanya memberi taklif (kewajiban) kepada hambanya yang mampu, padahal dalam ayat kedua jelas-jelas Allah menyatakan ketidakmampuan manusia berbuat adil maknawi. Oleh karena itu Allah
tidak akan menghukum dan menyalahkan orang yang memang jelas-jelas tidak
mampu melakukannya dan oleh karena itu, adil pada ayat kedua tidak di tuntut
oleh Allah SWT.
Jika Allah melarang poligami, maka mengapa Allah berfirman pada
ayat pertama “Nikahilah wanita-wanita yang baik; dua, tiga, empat”?. Jika
Allah bermaksud melarang, mengapa tidak langsung saja berkata: “Janganlah
kawin dua dan seterusnya”?
Jika poligami dilarang dalam Islam, mengapa Rasulullah SAW
menyetujui poligami para sahabat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasululla
SAW pernah mengizinkan poligami hingga empat wanita tatkala banyaknya orang
masuk Islam dan memiliki lebih dari empat isteri, lalu rasulullah SAW
membatasinya hingga empat saja. Di samping itu sejarah membuktikan
bahwa para sahabat, tabi’in dan para ulama ada yang berpoligami. Maka tidak
mungkin pula kita mengatakan bahwa mereka salah dalam memahami dua ayat di atas. Karena para sahabat, tabi’in dan ulama adalah orang yang mengerti akan ajaran Islam.

C. Islam dan Reformasi Poligami
Sebagaimana disebutkan di awal Tulsan ini bahwa praktek
poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Maka ketika Islam datang ia telah
melakukan beberapa reformasi dalam bidang poligami, di antaranya adalah
pembatasan poligami hingga empat wanita saja. Karena sebagaimana ditemukan pada masyarakat Jahiliyyah bahwa seorang laki-laki boleh mengawini lebih dari empat wanita.
Bentuk refomasi lainnya adalah bahwa Islam menekankan berbuat adil
terhadap isteri-isteri. Contoh yang jelas dalam masalah ini adalah ketika
Rasulullah SAW sakitnya keras dan mendekati kematian. Beliau ingin sekali
bermalam di setiap isteri-isterinya hingga ketika tidak bisa lagi berjalan
beliau meminta ijin kepada isteri-isterinya untuk tinggal di tempat Aisyah
ra.
Bentuk reformasi lain adalah bahwa Islam telah menanamkan rasa takut
kepada Allah SWT. Dengan demikian ketika menghadapi isterinya, seorang muslim tidak berbuat semena-mena dan semaunya. Ia menjadi orang tawadhu’ dan berbuat baik terhadap isteri-isterinya.
Dengan pendidikan Islam seperti inilah terwujudnya ketenteraman, hilangnya cemburu buta dan kerukunan di antara anggota keluarga. Rumah tanggal ideal seperti inilah yang pernah dialami para sahabat dan orang-orang yang bertakwa pada masa permulaan Islam.


D. Urgensi Poligami Secara Sosial.
Dalam sekala sosial, poligami mempunayi beberapa urgensi:
Pertama, dalam situasi normal. Sering terjadi populasi wanita melebihi jumlah pria, sebagaimana yang ditemukan di negara-negara Eropa Utara. Pada masa di mana tidak ditemukan peperangan, biasanya jumlah kaum hawa lebih banyak dari kaum Adam. Salah seorang dokter bersalin di Helsinky, Finlandia pernah berkata bahwa setiap terjadi kelahiran empat bayi, satu dari padanya adalah bayi laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari kemaslahatan etika maupun sosial.
Poligami dalam kondisi ini lebih baik dari pada ditemukannya wanita-wanita yang tak mendapatkan jodoh bergentayangan di jalan-jalan, tidak punya keluarga, tidak pula rumah. Keadaan ini dapat mengundang kejahatan dan perilaku negatif serta penyakit sosial.
Oleh karena itu sejak awal abad ini, para pakar Barat yang sadar
akan bahaya pelarangan poligami telah mewanti-wanti bahaya pelarangan tersebut dengan timbulnya kenakalan wanita dan lahirnya anak-anak tanpa ayah. Dalam edisinya tanggal 20 April 1901 harian “Lagos Weekly Record” pernah memuat tulisan yang dinukil dari dari harian “London Trust” tulisan seorang wanita Inggris yang berbunyi: “Telah banyak wanita jalanan di tengah-tengah masyarakat kita, tapi sedikit sekali para ilmuwan membahas sebab-sebabnya. Saya adalah seorang wanita yang hati ini merasa pedih menyaksikan pemandangan ini.
Tapi kesedihanku tak bermanfaat apa-apa, maka tidak ada jalan lain kecuali menghilangkan kondisi ini. Maka benarlah apa yang dilakukan seorang ilmuwan bernama Thomas, ia telah melihat penyakit ini dan menyebutkan obatnya, yaitu “membolehkan laki-laki kawin dengan lebih dari satu wanita”. Dengan cara inilah segala musibah akan berlalu, dan genarasi wanita kita akan mempunyai rumah tangga. Bencana yang besar kini adalah karena memaksa pria Eropa untuk cukup kawin dengan satu orang wanita”.
Kedua, dalam kodisi di mana jumlah laki-laki lebih sedikit dari jumlah wanita akibat pertempuran atau bencana alam. Dalam kondisi ini maka poligami menjadi urgen bagi tatanan sosial seperti yang terjadi pada masa perang dunia.

E. Urgensi Poligami Secara Individual
Di samping urgensi poligami secara sosial, ada beberapa
hal sehingga secara individual pun poligami menjadi sesuatu yang sangat urgen.
Antara lain adalah:
Pertama, bila seorang isteri mandul sementara sang suami
ingin sekali memiliki keturunan. Keinginan memiliki keturunan adalah sesuatu
hal yang wajar dan fitrah. Dalam situasi seperti ini hanya ada dua kemungkinan: mencerai isteri mandul atau kawin lagi. Tentunya mempertahankan perkawinan bagi seorang laki-laki dan wanita adalah lebih baik dari pada bercerai. Biasanya seorang wanita yang mandul lebih memilih dimadu dari pada hidup sendirian. Sebab bila memilih cerai, ia khawatir tidak ada lelaki lain yang ingin mengawininya.
Kedua, bila isteri mempunyai suatu penyakit yang menyebabkan
suami tidak bisa menggaulinya. Bila dicerai biasanya suami akan merasa malu
terhadap masyarakatnya, demikian juga isteri akan merasa tidak berarti lagi
dalam hidupnya. Sementara itu kebutuhan biologis suami harus tetap dipenuhi.
Oleh karena itu dalam keadaan demikian, maka poligami adalah jalan keluar dari persoalan di atas.
Ketiga, keadan laki-laki mempunyai kecendrungan hiper sex
yang bila hanya satu isteri, kebutuhannya tidak terpenuhi, baik karena sang
isteri memasuki masa monopause maupun disebabkan datang bulan (haid). Dalam keadaan ini tentunya poligami adalah tindakan yang paling baik dibandingkan harus “jajan” di tempat-tempat mesum. Dari keterangan di atas tentang beberapa keadaan di mana poligami menjadi begitu urgen bagi seorang laki-laki, timbul pertanyaan, mengapa tidak diberi kesempatan pula kepada wanita untuk melakukan hal yang sama, yaitu dengan melakukan poiandri (mempunyai lebih dari satu suami) ?. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan simple saja. Yaitu bahwa persamaan hak dalam masalah poligami antara laki-laki dan wanita adalah perkara yang mustahil. Sebab berapa pun jumlah suami seorang wanita, ia tetap akan hamil dan melahirkan setahun sekali. Berbeda dengan laki-laki yang bisa saja mempunyai beberapa anak dari isteri-isterinya. Bila seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami, kepada siapakah anaknya nanti akan dinisbatkan ? apakah kepada mas Slamet, le Toha atau kang Dandi ? atau di sebut bin rame-rame ?. Di samping itu, siapakah yang akan menjadi kepala keluarganya ? Mungkinkah kepala keluarga dipegang oleh orang banyak?.

F. Poligami dan Umat Islam
Kini Setelah timbulnya kesadran umat Islam tentang besarnya
pengaruh pemikiran Barat melalui jalur informasi, buku-buku dan para
orientalisnya, para pakar Islam berupaya untuk menata kembali masyarakat Islam agar bangkit dari tidurnya.
Di antara pemikiran Barat yang banyak mempengaruhi pola pikir umat Islam adalah melempar keraguan kepada umat Islam tentang hukum poligami. Sehingga persoalan ini menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Sayangnya, banyaknya timbul poligami di kalangan umat Islam dewasa ini justru terjadi di saat umat Islam tidak mengenal agamanya, jauhnya dari hukum Islam dan akhlak Islam sehingga menyebabkan timbulnya penyakit sosial di masyaraklat muslim. Di tengah kondisi keterbelakangan inilah kaum orientalis Barat menyerang agama Islam dengan sangat empuknya.
Oleh Karena itu, para pakar muslim terpanggil untuk menjawab segala tuduhan dan serangan mereka tentang poligami. Di antara para pakar yang banyak menanggapi persoalan ini adalah Syeikh Muhammad Abduh, Beliau menulis tentang bahaya poligami yang beliau saksikan sendiri pada masanya. Beliau pernah menyampaikan ceramah di Al Azhar yang salah seorang mahasiswanya bernama Rasyid Ridlo. Perkuliahan ini kemudian dimuat dalam majalah “Al Mannar” yang kemudian dikutip dalam kitab
tafsirnya (juz 4/349).

G. Rasulullah SAW dan Poligami
Sebelum mengakhiri tulisan tentang poligami, kurang lengkap rasanya bila kita tidak membahas tetang perkawinan dan poligami Rasulullah SAW. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di antara beberapa hukum yang diturunkan kepada Rasulullah SAW untuk umatnya, ada beberapa hukum yang hanya khusus diberlakukan kepada Rasulullah SAW. Di antaranya adalah kewajiban qiyamullail bagi Rasulullah SAW dan dibolehkannya berpoligami lebih dari empat wanita. Kekhususan ini disebabkan beliau adalah seorang Rasul dan karena ada hikmah tertentu yang Allah SWT inginkan.
Namun demikian pihak musuh Islam selalu mencari jalan untuk dapat mengkritik Rasulullah SAW agar umatnya tidak lagi menaruh hormat kepada nabinya atau menanamkan keraguan terhadap rasulnya. Karenanya mereka tidak segan-segan melempar tuduhan kepada pribadi beliau.
Di antara tuduhan mereka terhadap Rasulullah SAW adalah masalah
poligami. Mereka menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat haus sex, tukang main perempuan dan lain sebagainya. Oleh karena itu ia tidak puas hanya dengan satu wanita. Ia juga sangat berbeda dengan Yesus (maksud mereka Isa as). Isa adalah orang yang suci, tidak pernah mengumbar nafsunya, tidak seperti Muhammad.
Untuk menjawab tuduhan di atas, ada dua hal penting yang
harus kita ingat: Rasulullah SAW tidak pernah mengawini wanita lebih dari
satu, kecuali setelah beliau memasuki usia senja, yaitu usia lebih dari 50
tahun. Seluruh isteri-isteri Rasulullah SAW berstatus janda, kecuali hanya Aisyahra.
Dari dua point ini dapat kita simpulkan, bahwa meskipun
sebagai seorang manusia dan mempunyai nafsu birahi serta tidak menutup
kemungkinan ada dorongan naluri manusia dalam mengawini wanita-wanita, tapi di balik itu semua ada maksud luhur. Oleh karena itu untuk mengatakan bahwa perkawinan Rasul dengan banyak wanita sama denga poligami yang dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang atau disamakan dengan kebutuhan sex orang Barat adalah sebagai sesuatu yang naïf. Hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan, selain dua alasan pokok di atas:
Andai kata semata-mata hanya dorongan syahwat saja, mengapa Rasulullah SAW tidak memilih yang gadis-gadis saja?
Padahal Rasulullah pernah menganjurkan sahabat Jabir bin Abdullah untuk lebih baik mengawini gadis dari pada janda karena seorang gadis lebih bisa
bermesraan dan bercanda.
Seandainya Rasul mau gadis, bukankah beliau bisa saja
meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk memberikam anak gadisnya kepada
Rasulullah SAW ? Bukankah kesetiaan sahabat begitu besar kepada Rasulullah SAW dan siap memberikan apa saja yang diminta ?. Oleh karena itu,
tentu di balik poligami Rasul ada hikmah yang Allah kehendaki. Di antara
hikmah-hikmah tersebut adalah:


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Selain beberapa keunggulan yang terdapat pada sistem poligami, kita juga tidak menutup mata bahwa secara empiris masih dijumpai sisi negatif dari poligami. Sisi negative ini timbul disebabkan beberapa faktor. Namun faktor utama dari segalanya adalah kembali kepada manusianya itu sendiri. Banyak dari kalangan kita yang menyalahgunakan kebolehan polgami ini, di samping itu keislaman dan kesalehan orang yang bersangkutan masih kurang dari yang diharapkan. Maka banyak terjadi berbagai persoalan negatif yang ditimbulkan poligami, antara lain:
Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para isteri.
Persaaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu isteri dari
pada isteri yang lain, atau karena kurang adanya keadilan. Tapi hal ini jarang terkadi bila sang suami dan isteri mengerti hak dan kewajibannya.
Perasaan di atas juga biasanya terwarisi hingga kepada anak-anaknya dari masing-masing isteri, sehingga rasa persaudaraan tidak ada
lagi.
Timbulnya tekanan batin bagi sang isteri pertama, karena biasanya sang suami lebih mencintai isteri barunya. Perasaan ini mengakibatkan isteri pertama kurang bahagia dalam hidupnya.
Poligami juga menjadi penyebab timbulnya genarasi santai,
mereka lebih suka bermejeng di jalanan untuk menghabis-habiskan masa mudanya. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya perhatian dari sang
ayah. Dalam menjalani peraturan agama, memang ada beberapa hal
yang harus kita hadapai dengan pengorbanan. Dalam poligami, kenyataan itu
hampir sama yang ditemukan pada perang (jihad). Di sana ada yang sakit, terluka dan tewas menjadi korban. Tapi bila timbulnya korban adalah suatu hal yang harus terjadi karena suatu kondisi, maka justru segala pengorbanan dan
penderitaan harus dipikul. Oleh karena itu Dr. Musthofa Siba’i dan Muhammad
Qutub menyatakan bahwa poligami dapat dilaksanakan hanya dalam keadaan darurat.
Oleh sebab itu bila seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan pengorbanan dan penderitaan tanpa didasari keadaan darurat, maka sama saja orang itu seperti orang gila.
Sementara itu di sisi lain, kita tidak pula mengatakan bahwa
perasaan yang dialami wanita sebagai sesuatu yang menafikan hukum poligami.
Sebab bila seorang laki-laki tetap melirik wanita lain, akankah ketiadaan hukum
poligami menghilangkan kecenderungan lelaki tersebut ? Bukankah ia bisa saja
menghianati isterinya ? Ia bisa juga berhubungan dan bergaul dengan wanita lain tanpa diketahui sang isteri. Dan hal ini telah terjadi, bahkan meskipun sudah diketahui sang isteri, tapi ia tidak berbuat apa-apa. Inilah yang sering banyak terjadi di masyarakat Barat dan orang-orang yang suka menyeleweng (dalam arti yang sebenarnya, tanpa nikah yang sah). Bila demikian halnya, bukankah lebih baik bila isteri, suami dan wanita lain itu sama-sama tahu dan saling mengenal serta saling rela dan sah ?. Bukankah lebih baik bila dilakukan tanpa melanggar hukum Allah dan RasulNya?. Sehingga keturunan pun jelas dan terhindar dari masksiat?.
Dengan poligami, Rasulullah SAW banyak mengeluarkan wanita yang alim yang dapat mengajarkan wanita lainnya. Isteri-isteri Rasulullah SAW itulah yang mengajarkan agama kepada wanita muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat feminisme (kewanitaan).

Makalah Hukum Acara Perdata

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pembuktian
 Riduan Syahrani
Pembuktian adalah Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 R. Subekti
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian dalam suatu persengketaan itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

1. Pembuktian mengandung beberapa pengertian
 Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan bearti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma , yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang, dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Disini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan- kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
 Membuktikan dalam arti Konvensional
Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatife sifatnya mempunyai tingkatan-tongkatan :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif dan disebut conviction Intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

 Membuktikan dalam arti Yuridis
Di dalam hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlkaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti Yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan “historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Bail dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktiakan dalam arti yuridis tidak lain memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa yang bergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan atau sumpah.
Terhadap soal bukti dan penerimaan atau penolakan alat-alat bukti dalam perkara perdata yang menjadi wewenang hakim distrik, pengadilan distrik, pengadilan oleh jaksa, dan pengadilan oleh negeri, harus diperhatiakan peraturan-peraturan pokok. (pasal 281).Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang harus membuktikan hak atau keadaan itu. (pasal 283).
B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RGB “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, nenunjukan pada suatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa”.
Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwa saja melainkan juga suatu hak.
Contoh:
Warisan Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta waris belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan telah dibagi.
Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi, jika Penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negative bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapus atau membantah hak Penggugat tersebut. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian , hakim harus bertindak arif ndan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu Dibuktikan
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukum yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan keputusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Contoh :
Dalam perkara utang piutang, maka tidak relevant bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevant adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya bukti-bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok berikut ini.
Ketentuan dalam pasal tersebut diatas merupakanperintah kepada hakim utuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pagkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu Pasal 163 dan seterusnya. ( Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989:52-53).

D. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka siding pengadilan, tidak semua hal perlu dibuktikan, melainkan ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :

1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan.
Contoh :
Jika Penggugat mengatakan Tergugat meminjam uang kepada Penggugat, gugatan mana kemudian diakui oleh Tergugat, maka Penggugat tidak perlu lagi membuktikan adanya utang pinjam meminjam uang tersebut.
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
Contoh :
Hakim melihat sendiri, barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai oleh Penggugat lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umu (peristiwa notoir = notoirfeiten )
Contoh :
Sungai-sungai di pulau Jawa bila musim hujan sering banjir dan bila musim kemarau kekurangan air.
Menurut Asser – Anema – Verdam , dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
 Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dobuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugata penggungat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memelukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RGB / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Sedangkan menurut Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
a. Surat atau Tulisan
b. Keterangan Ahli
c. Keterangan Saksi
d. Pengakuan para Pihak
e. Pengetahuan Hakim
Menurut UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur mengenai alat-alat bukti.
 Platon
Alat bukti dapat bersifat oral , documentary atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dipersidangan.
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Trmasuk dalam alat bukti yang bersifat dokumentari adalah surat. Sedangkan termasuk dalam a;at bukti yang bersifat material adalah barang fisik selain dokumen, yang menurut E.W. Cleary disebut juga demonstrative evidence.
a. Alat Bukti Tulisan atau Surat
Alat Pembuktian Tulisan atau Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.Tanda- tanda yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kajian dan sebagaiinya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur pad apasal 165- 167 HIR / 282 – 305 RBG dan Pada Pasal 1 867-1894 KUH Perdata.
Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau m,eskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengeti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan atau surat. Potret atau gambar dan peta atau denah karena tidak memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu fikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Kalau potret, gambar, peta atau denah diajukan juga dipersidangan pengadilan, maka fungsinya hanyalah sekedar sebgai barang untuk menambah keyakinan saja bagi hakim.
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
 Akta
Adalah surat atau lulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akna ini ada dua macam yaitu :
a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undnag oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari nya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu.

Akta Otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan undang-undang yang berwenang membuat surat itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantim didalamnya.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah Notaris, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Panitera Pengadilan, Pegawai Pencatatan Perkawinan.
Dengan demikian akta otentik dibagi dua macam, yaitu :
 Akta Otentik yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk)
Misalnya :
Berita acara yang pemeriksaan pengadilan yang dibuat panitera, Berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita, berita acara pelanggaran lalulintas yang dibuat oleh polisi, seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadiri para pemegang saham dari suatu perseorang terbatas.
 Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Misalnya :
Akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaries selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Akta otentik merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Cukup mengikat dalam arti bahwa sebagai sesuatu yang benar, selam atidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahanalat bukti lain.

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.

Akta dibawah Tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam Lembaran Negara 1867 No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RGB.Akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 1867-1894 KUHPerdata.
Dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu, surat , daftar, surat urusan rumah tangga, dan surat yang ditandatangani serta dibubuhi dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 Stbl, 1867 No. 29 / 286 (1) RGB / 1878 KUHPerdata.
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar diperlihatkan.(Pasal 301 (1) dan (2) RGB / 1888 KUHPerdata.
Jika akta asli tidak ada lagi, maka salinan itu menjadi bukti dengan mengingat aturan yang tersebut dibawah ini :
1. Salianan yang pertama dikeluarkan menjadi bukti yang sama dengan akta asli, demikian pula halnya salinan yang dibuat dengan perhatian hakim dihadapan kedua belah pihak, dan salinan yang dibuat dihadapkan kedua belah pihak dan dengan kerelaan mereka berdua.
2. Salinan-salinan yang tanpa perantara hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudah dikeluarkan salinan yag pertama dibuat oleh notaries yang hadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-akta asli dan berkuasa memberikan salinan, dapat diterima oleh hakim sebagai bukti sempurna, apabila kata yang aslinya telah hilang.
3. Apabila salinan-salinan itu membuat menurut akta asli tidak dibuat oleh notaries, maka salinan itu tidak dapat dipakai sebagai bukti melainkan sebagai permulaan pembuktian dengan tertulis.
4. Salinan yang sah dari akta otentik atau akta dibawah tangan menurut keadaan dapat menjadi permulaan bukti dengan surat atau tulisan. (Pasal 302 RGB / 1988 KUHPerdata).

b. Saksi
Dalam Pasal (1895 KUHPerdata / Pasal 168 HIR) Pembuktian dengan saksi- saksi diperkenankan dalam segala hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang. Sebagai pengecualian adalah:
Contoh :
a. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan sengan perjanjian kawin atau dengan sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh notaris yang bersangkutan. (Pasal 150 KUHPerdata).
b. Perjanjuan pertanggungan hanya dapat dibuktian dengan polis. (Pasal 258 KUHDagang).
c. Sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan untuk mendapatkan akta nikah. (Pasal 1 (2) UU Perkawinan).

Menurut Pasal 169 HIR / 302 RBG / 1905 KUHPerdata “ keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum. Istilah Hukumnya “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian meskipun ada dua orang saksi, suatu peristiwa dapat dikatan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahui hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan khusus atau persangkaan / perasaan istimewa yang diperoleh melalui pikiran, bukan kesaksian. (Pasal 171 HIR / 302 RGB / 1907 KUHPerdata).
Jadi kesaksian itu harus diterangkan tentang pengetahuan saksi mengenai suatu peristiwa yang dialami sendiri dengan menyebutkan alasannya sampai ia mengetahui peristiwa itu.
Misalnya :
Saksi mengetahui peristiwa itu dengan melihat sendiri, mendengar sendiri, merasakan sendiri. Kalau hanya merupakan kesimpulan belaka yang didasarkan pada pendapat atau pemikiran atau keterangan yang didengar dari orang lain (pihak ketiga) yang dikenal dengan istilah testimonium de auditu, itu bukan kesaksian.
a. Saksi yang tidak mau hadir
Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi akan tetapi saksi tidak dapat dibawa menurut Pasal 145 RGB/121 HIR karena itu tidak mau menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memriksa saksi itu dengan memerintahkan seornag pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan.
Panggilan semacam itu dapat dilakukan terhadap saksi yang harus diperiksa oleh pengadilan dengan perintah karena jabatannya.Jika saksi tidak mau hadir yang ditentukan, maka ia dihukum oleh pengadilan membayar segala ongkus yang dikeluarkan dnegan sia-sia itu. Ia dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
b. Saksi yang sakit atau cacat badan
Apabila ternyata seorang saksi sakit atau cacat badan berhalangan untuk hadir menghadap ke persidangan pengadilan, baik karena suatu saat tidak dapat hadir maupun selama-lamanya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan dan kalau kesaksian itu dianggap perlu oleh pengadilan, ketua mengangkatseorang komisaris dari anggota pengadilan dan memerintahkan komisaris itu pergi ke rumah sakit dengan bantuan panitera memeriksa saksi tidak dengan sumpah menurut segala pernyataan yang ditulisakn oleh ketua dan hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara.
c. Saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum
Tidak seorang pun dapat diperiksa hadir menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata jika tempat tinggalnya berada diluar hukum pengadilan negeri itu. Jika saksi yang demikian dipanggil tetapi tidak hadir maka ia tidak dapat dihukum karena itu. Tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum saksi itu bertempat tinggal dan pengadilan itu wajib mengirimkan dengan segera berita acara pemeriksaan itu dan berita acara pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

d. Pemeriksaan saksi
Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu , dipanggil kedalam seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak disesuaikan keterangan mereka satu sama lain.
Ketua menanyakan nama, pekerjaan, umur, tempat tinggalk atau kediaman saksi itu. Ditanyakan pula apakah saksi tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan kedua belah pihak atau dengan salah satu pihak baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat keberapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak. Dalam perakteknya hakim selalu menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian meminta dan melihat KTP tersebut. Sedangkan dengan hubungan keluarga hal ini dimaksudkan untuk menentukan apakah saksi tersebut tidak dapatdidengar sebagai saksi.
e. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan (semenda) menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. Keturunan lurus meliputi, keturaunan lurus keatas dan lurus kebawah. Keatas yaitu : bapak-ibu/ bapak-ibu mertua, kakek-nenek/ kakek-nenek mertua, dan seterusnya. Kebaeah anak/anak menantu, cucu/cucu menantu dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut keturunan yang lurus.
Tapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara atau tentang suatu kedudukan perdata dari para pihak, dan dalam perkara tentang perjanjian kerja.
Kedudukan Perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalanya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan, perceraian.
Isteri/suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah umurnya sudah cukup 15 tahun. Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
f. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
Saudara laki-laki dan perempuan , ipar laki-laki dan perempuan dari dsalah satu pihak. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak , adalah kakak ipar dan adik ipar. Tatapi keluarga sedarah tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian kerja. Orang yang karana martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. Pengadilanlah yang mempertimbangkan benar tidaknya keterangan orang di atas. Mereka ini misalnya, notaries, dokter, advokat, polisi dan lain-lain.
g. Sumpah saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan labih dulu harus ia disumpah menurut agamanya. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah sebelumnya, b ukanlah merupakan alat bukti yang sah.
h. Saksi terhadap saksi yang tidak bersedia disumpah
JIka diluar hal tersebut pada Pasal 147 RGB / 147 HIR seorang saksi yang hadir dipersidangan tidak bersedia bersumpah atau tidak mau memberikan keterangan maka atas permintaan yang berkepentingan ketua dapat memberi perintah supaya saksi disandera. Penyanderaan dilakukan selama-lamanya 3 bulan, atas biaya pihak itu, kecuali jika sementara itu dipenuhi kewajibannya atau sudah dijatuhkan putusan oleh pengadilan dalam perkara itu, penyanderaan dilakukan sampai sampai saksi itu memenihi kewajibannya.
i. Saksi orang asing, bisu atau tuli
Pasal 177 KUHP menentuka (1) jika,… saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178 KUHP menentuka (1) jika,… saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan,… saksi itu.
Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah diancam dengan pidana (Pasal 242 KUHPidana). Tujuan undang-undang yang mengharuskan saksi bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan yang sebenernya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenernya. Sebab, bagi orang yang beragama, yang percaya akan kekuasaan Tuhan, ia tidak bergitu mudah memberikan keterangan yang tidak benar, sebab ia menyadari apabila memberikan keterangan yang tidak benar akan mendapat dosa atau kutukan dari Tuhan.
c. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata).
 Wirjono Prodjodikoro
Persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, yang dijadikan buktisebetulnya bulan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata.
Ada dua macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut undang-undang
b. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undnag
Menurut Pasal 1916 KUHPerdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan undang-undang .
Prasangka semacam itu adalah :
a. Perbuatan yang oleh undang-undnag dinyatakan batal, karana semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyeludupi suatu ketentuan undang-undang.
b. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasa utang disimpulkan dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang oleh undang-undnagdiberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

d. Pengakuan
 R. Subekti
Adalah tidak tepat





























PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pembuktian
 Riduan Syahrani
Pembuktian adalah Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 R. Subekti
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian dalam suatu persengketaan itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

1. Pembuktian mengandung beberapa pengertian
 Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan bearti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma , yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang, dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Disini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan- kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
 Membuktikan dalam arti Konvensional
Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatife sifatnya mempunyai tingkatan-tongkatan :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif dan disebut conviction Intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

 Membuktikan dalam arti Yuridis
Di dalam hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlkaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti Yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan “historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Bail dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktiakan dalam arti yuridis tidak lain memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa yang bergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan atau sumpah.
Terhadap soal bukti dan penerimaan atau penolakan alat-alat bukti dalam perkara perdata yang menjadi wewenang hakim distrik, pengadilan distrik, pengadilan oleh jaksa, dan pengadilan oleh negeri, harus diperhatiakan peraturan-peraturan pokok. (pasal 281).Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang harus membuktikan hak atau keadaan itu. (pasal 283).
B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RGB “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, nenunjukan pada suatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa”.
Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwa saja melainkan juga suatu hak.
Contoh:
Warisan Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta waris belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan telah dibagi.
Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi, jika Penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negative bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapus atau membantah hak Penggugat tersebut. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian , hakim harus bertindak arif ndan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu Dibuktikan
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukum yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan keputusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Contoh :
Dalam perkara utang piutang, maka tidak relevant bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevant adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya bukti-bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok berikut ini.
Ketentuan dalam pasal tersebut diatas merupakanperintah kepada hakim utuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pagkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu Pasal 163 dan seterusnya. ( Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989:52-53).

D. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka siding pengadilan, tidak semua hal perlu dibuktikan, melainkan ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :

1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan.
Contoh :
Jika Penggugat mengatakan Tergugat meminjam uang kepada Penggugat, gugatan mana kemudian diakui oleh Tergugat, maka Penggugat tidak perlu lagi membuktikan adanya utang pinjam meminjam uang tersebut.
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
Contoh :
Hakim melihat sendiri, barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai oleh Penggugat lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umu (peristiwa notoir = notoirfeiten )
Contoh :
Sungai-sungai di pulau Jawa bila musim hujan sering banjir dan bila musim kemarau kekurangan air.
Menurut Asser – Anema – Verdam , dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
 Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dobuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugata penggungat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memelukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RGB / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Sedangkan menurut Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
a. Surat atau Tulisan
b. Keterangan Ahli
c. Keterangan Saksi
d. Pengakuan para Pihak
e. Pengetahuan Hakim
Menurut UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur mengenai alat-alat bukti.
 Platon
Alat bukti dapat bersifat oral , documentary atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dipersidangan.
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Trmasuk dalam alat bukti yang bersifat dokumentari adalah surat. Sedangkan termasuk dalam a;at bukti yang bersifat material adalah barang fisik selain dokumen, yang menurut E.W. Cleary disebut juga demonstrative evidence.
a. Alat Bukti Tulisan atau Surat
Alat Pembuktian Tulisan atau Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.Tanda- tanda yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kajian dan sebagaiinya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur pad apasal 165- 167 HIR / 282 – 305 RBG dan Pada Pasal 1 867-1894 KUH Perdata.
Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau m,eskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengeti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan atau surat. Potret atau gambar dan peta atau denah karena tidak memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu fikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Kalau potret, gambar, peta atau denah diajukan juga dipersidangan pengadilan, maka fungsinya hanyalah sekedar sebgai barang untuk menambah keyakinan saja bagi hakim.
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
 Akta
Adalah surat atau lulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akna ini ada dua macam yaitu :
a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undnag oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari nya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu.

Akta Otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan undang-undang yang berwenang membuat surat itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantim didalamnya.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah Notaris, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Panitera Pengadilan, Pegawai Pencatatan Perkawinan.
Dengan demikian akta otentik dibagi dua macam, yaitu :
 Akta Otentik yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk)
Misalnya :
Berita acara yang pemeriksaan pengadilan yang dibuat panitera, Berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita, berita acara pelanggaran lalulintas yang dibuat oleh polisi, seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadiri para pemegang saham dari suatu perseorang terbatas.
 Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Misalnya :
Akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaries selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Akta otentik merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Cukup mengikat dalam arti bahwa sebagai sesuatu yang benar, selam atidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahanalat bukti lain.

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.

Akta dibawah Tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam Lembaran Negara 1867 No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RGB.Akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 1867-1894 KUHPerdata.
Dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu, surat , daftar, surat urusan rumah tangga, dan surat yang ditandatangani serta dibubuhi dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 Stbl, 1867 No. 29 / 286 (1) RGB / 1878 KUHPerdata.
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar diperlihatkan.(Pasal 301 (1) dan (2) RGB / 1888 KUHPerdata.
Jika akta asli tidak ada lagi, maka salinan itu menjadi bukti dengan mengingat aturan yang tersebut dibawah ini :
1. Salianan yang pertama dikeluarkan menjadi bukti yang sama dengan akta asli, demikian pula halnya salinan yang dibuat dengan perhatian hakim dihadapan kedua belah pihak, dan salinan yang dibuat dihadapkan kedua belah pihak dan dengan kerelaan mereka berdua.
2. Salinan-salinan yang tanpa perantara hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudah dikeluarkan salinan yag pertama dibuat oleh notaries yang hadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-akta asli dan berkuasa memberikan salinan, dapat diterima oleh hakim sebagai bukti sempurna, apabila kata yang aslinya telah hilang.
3. Apabila salinan-salinan itu membuat menurut akta asli tidak dibuat oleh notaries, maka salinan itu tidak dapat dipakai sebagai bukti melainkan sebagai permulaan pembuktian dengan tertulis.
4. Salinan yang sah dari akta otentik atau akta dibawah tangan menurut keadaan dapat menjadi permulaan bukti dengan surat atau tulisan. (Pasal 302 RGB / 1988 KUHPerdata).

b. Saksi
Dalam Pasal (1895 KUHPerdata / Pasal 168 HIR) Pembuktian dengan saksi- saksi diperkenankan dalam segala hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang. Sebagai pengecualian adalah:
Contoh :
a. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan sengan perjanjian kawin atau dengan sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh notaris yang bersangkutan. (Pasal 150 KUHPerdata).
b. Perjanjuan pertanggungan hanya dapat dibuktian dengan polis. (Pasal 258 KUHDagang).
c. Sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan untuk mendapatkan akta nikah. (Pasal 1 (2) UU Perkawinan).

Menurut Pasal 169 HIR / 302 RBG / 1905 KUHPerdata “ keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum. Istilah Hukumnya “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian meskipun ada dua orang saksi, suatu peristiwa dapat dikatan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahui hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan khusus atau persangkaan / perasaan istimewa yang diperoleh melalui pikiran, bukan kesaksian. (Pasal 171 HIR / 302 RGB / 1907 KUHPerdata).
Jadi kesaksian itu harus diterangkan tentang pengetahuan saksi mengenai suatu peristiwa yang dialami sendiri dengan menyebutkan alasannya sampai ia mengetahui peristiwa itu.
Misalnya :
Saksi mengetahui peristiwa itu dengan melihat sendiri, mendengar sendiri, merasakan sendiri. Kalau hanya merupakan kesimpulan belaka yang didasarkan pada pendapat atau pemikiran atau keterangan yang didengar dari orang lain (pihak ketiga) yang dikenal dengan istilah testimonium de auditu, itu bukan kesaksian.
a. Saksi yang tidak mau hadir
Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi akan tetapi saksi tidak dapat dibawa menurut Pasal 145 RGB/121 HIR karena itu tidak mau menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memriksa saksi itu dengan memerintahkan seornag pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan.
Panggilan semacam itu dapat dilakukan terhadap saksi yang harus diperiksa oleh pengadilan dengan perintah karena jabatannya.Jika saksi tidak mau hadir yang ditentukan, maka ia dihukum oleh pengadilan membayar segala ongkus yang dikeluarkan dnegan sia-sia itu. Ia dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
b. Saksi yang sakit atau cacat badan
Apabila ternyata seorang saksi sakit atau cacat badan berhalangan untuk hadir menghadap ke persidangan pengadilan, baik karena suatu saat tidak dapat hadir maupun selama-lamanya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan dan kalau kesaksian itu dianggap perlu oleh pengadilan, ketua mengangkatseorang komisaris dari anggota pengadilan dan memerintahkan komisaris itu pergi ke rumah sakit dengan bantuan panitera memeriksa saksi tidak dengan sumpah menurut segala pernyataan yang ditulisakn oleh ketua dan hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara.
c. Saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum
Tidak seorang pun dapat diperiksa hadir menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata jika tempat tinggalnya berada diluar hukum pengadilan negeri itu. Jika saksi yang demikian dipanggil tetapi tidak hadir maka ia tidak dapat dihukum karena itu. Tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum saksi itu bertempat tinggal dan pengadilan itu wajib mengirimkan dengan segera berita acara pemeriksaan itu dan berita acara pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

d. Pemeriksaan saksi
Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu , dipanggil kedalam seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak disesuaikan keterangan mereka satu sama lain.
Ketua menanyakan nama, pekerjaan, umur, tempat tinggalk atau kediaman saksi itu. Ditanyakan pula apakah saksi tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan kedua belah pihak atau dengan salah satu pihak baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat keberapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak. Dalam perakteknya hakim selalu menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian meminta dan melihat KTP tersebut. Sedangkan dengan hubungan keluarga hal ini dimaksudkan untuk menentukan apakah saksi tersebut tidak dapatdidengar sebagai saksi.
e. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan (semenda) menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. Keturunan lurus meliputi, keturaunan lurus keatas dan lurus kebawah. Keatas yaitu : bapak-ibu/ bapak-ibu mertua, kakek-nenek/ kakek-nenek mertua, dan seterusnya. Kebaeah anak/anak menantu, cucu/cucu menantu dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut keturunan yang lurus.
Tapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara atau tentang suatu kedudukan perdata dari para pihak, dan dalam perkara tentang perjanjian kerja.
Kedudukan Perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalanya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan, perceraian.
Isteri/suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah umurnya sudah cukup 15 tahun. Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
f. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
Saudara laki-laki dan perempuan , ipar laki-laki dan perempuan dari dsalah satu pihak. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak , adalah kakak ipar dan adik ipar. Tatapi keluarga sedarah tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian kerja. Orang yang karana martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. Pengadilanlah yang mempertimbangkan benar tidaknya keterangan orang di atas. Mereka ini misalnya, notaries, dokter, advokat, polisi dan lain-lain.
g. Sumpah saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan labih dulu harus ia disumpah menurut agamanya. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah sebelumnya, b ukanlah merupakan alat bukti yang sah.
h. Saksi terhadap saksi yang tidak bersedia disumpah
JIka diluar hal tersebut pada Pasal 147 RGB / 147 HIR seorang saksi yang hadir dipersidangan tidak bersedia bersumpah atau tidak mau memberikan keterangan maka atas permintaan yang berkepentingan ketua dapat memberi perintah supaya saksi disandera. Penyanderaan dilakukan selama-lamanya 3 bulan, atas biaya pihak itu, kecuali jika sementara itu dipenuhi kewajibannya atau sudah dijatuhkan putusan oleh pengadilan dalam perkara itu, penyanderaan dilakukan sampai sampai saksi itu memenihi kewajibannya.
i. Saksi orang asing, bisu atau tuli
Pasal 177 KUHP menentuka (1) jika,… saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178 KUHP menentuka (1) jika,… saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan,… saksi itu.
Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah diancam dengan pidana (Pasal 242 KUHPidana). Tujuan undang-undang yang mengharuskan saksi bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan yang sebenernya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenernya. Sebab, bagi orang yang beragama, yang percaya akan kekuasaan Tuhan, ia tidak bergitu mudah memberikan keterangan yang tidak benar, sebab ia menyadari apabila memberikan keterangan yang tidak benar akan mendapat dosa atau kutukan dari Tuhan.
c. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata).
 Wirjono Prodjodikoro
Persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, yang dijadikan buktisebetulnya bulan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata.
Ada dua macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut undang-undang
b. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undnag
Menurut Pasal 1916 KUHPerdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan undang-undang .
Prasangka semacam itu adalah :
a. Perbuatan yang oleh undang-undnag dinyatakan batal, karana semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyeludupi suatu ketentuan undang-undang.
b. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasa utang disimpulkan dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang oleh undang-undnagdiberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

d. Pengakuan
 R. Subekti
Adalah tidak tepat





























PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pembuktian
 Riduan Syahrani
Pembuktian adalah Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 R. Subekti
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian dalam suatu persengketaan itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

1. Pembuktian mengandung beberapa pengertian
 Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan bearti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma , yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang, dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Disini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan- kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
 Membuktikan dalam arti Konvensional
Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatife sifatnya mempunyai tingkatan-tongkatan :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif dan disebut conviction Intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

 Membuktikan dalam arti Yuridis
Di dalam hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlkaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti Yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan “historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Bail dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktiakan dalam arti yuridis tidak lain memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa yang bergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan atau sumpah.
Terhadap soal bukti dan penerimaan atau penolakan alat-alat bukti dalam perkara perdata yang menjadi wewenang hakim distrik, pengadilan distrik, pengadilan oleh jaksa, dan pengadilan oleh negeri, harus diperhatiakan peraturan-peraturan pokok. (pasal 281).Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang harus membuktikan hak atau keadaan itu. (pasal 283).
B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RGB “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, nenunjukan pada suatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa”.
Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwa saja melainkan juga suatu hak.
Contoh:
Warisan Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta waris belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan telah dibagi.
Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi, jika Penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negative bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapus atau membantah hak Penggugat tersebut. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian , hakim harus bertindak arif ndan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu Dibuktikan
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukum yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan keputusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Contoh :
Dalam perkara utang piutang, maka tidak relevant bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevant adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya bukti-bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok berikut ini.
Ketentuan dalam pasal tersebut diatas merupakanperintah kepada hakim utuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pagkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu Pasal 163 dan seterusnya. ( Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989:52-53).

D. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka siding pengadilan, tidak semua hal perlu dibuktikan, melainkan ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :

1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan.
Contoh :
Jika Penggugat mengatakan Tergugat meminjam uang kepada Penggugat, gugatan mana kemudian diakui oleh Tergugat, maka Penggugat tidak perlu lagi membuktikan adanya utang pinjam meminjam uang tersebut.
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
Contoh :
Hakim melihat sendiri, barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai oleh Penggugat lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umu (peristiwa notoir = notoirfeiten )
Contoh :
Sungai-sungai di pulau Jawa bila musim hujan sering banjir dan bila musim kemarau kekurangan air.
Menurut Asser – Anema – Verdam , dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
 Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dobuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugata penggungat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memelukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RGB / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Sedangkan menurut Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
a. Surat atau Tulisan
b. Keterangan Ahli
c. Keterangan Saksi
d. Pengakuan para Pihak
e. Pengetahuan Hakim
Menurut UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur mengenai alat-alat bukti.
 Platon
Alat bukti dapat bersifat oral , documentary atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dipersidangan.
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Trmasuk dalam alat bukti yang bersifat dokumentari adalah surat. Sedangkan termasuk dalam a;at bukti yang bersifat material adalah barang fisik selain dokumen, yang menurut E.W. Cleary disebut juga demonstrative evidence.
a. Alat Bukti Tulisan atau Surat
Alat Pembuktian Tulisan atau Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.Tanda- tanda yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kajian dan sebagaiinya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur pad apasal 165- 167 HIR / 282 – 305 RBG dan Pada Pasal 1 867-1894 KUH Perdata.
Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau m,eskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengeti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan atau surat. Potret atau gambar dan peta atau denah karena tidak memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu fikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Kalau potret, gambar, peta atau denah diajukan juga dipersidangan pengadilan, maka fungsinya hanyalah sekedar sebgai barang untuk menambah keyakinan saja bagi hakim.
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
 Akta
Adalah surat atau lulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akna ini ada dua macam yaitu :
a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undnag oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari nya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu.

Akta Otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan undang-undang yang berwenang membuat surat itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantim didalamnya.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah Notaris, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Panitera Pengadilan, Pegawai Pencatatan Perkawinan.
Dengan demikian akta otentik dibagi dua macam, yaitu :
 Akta Otentik yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk)
Misalnya :
Berita acara yang pemeriksaan pengadilan yang dibuat panitera, Berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita, berita acara pelanggaran lalulintas yang dibuat oleh polisi, seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadiri para pemegang saham dari suatu perseorang terbatas.
 Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Misalnya :
Akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaries selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Akta otentik merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Cukup mengikat dalam arti bahwa sebagai sesuatu yang benar, selam atidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahanalat bukti lain.

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.

Akta dibawah Tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam Lembaran Negara 1867 No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RGB.Akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 1867-1894 KUHPerdata.
Dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu, surat , daftar, surat urusan rumah tangga, dan surat yang ditandatangani serta dibubuhi dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 Stbl, 1867 No. 29 / 286 (1) RGB / 1878 KUHPerdata.
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar diperlihatkan.(Pasal 301 (1) dan (2) RGB / 1888 KUHPerdata.
Jika akta asli tidak ada lagi, maka salinan itu menjadi bukti dengan mengingat aturan yang tersebut dibawah ini :
1. Salianan yang pertama dikeluarkan menjadi bukti yang sama dengan akta asli, demikian pula halnya salinan yang dibuat dengan perhatian hakim dihadapan kedua belah pihak, dan salinan yang dibuat dihadapkan kedua belah pihak dan dengan kerelaan mereka berdua.
2. Salinan-salinan yang tanpa perantara hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudah dikeluarkan salinan yag pertama dibuat oleh notaries yang hadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-akta asli dan berkuasa memberikan salinan, dapat diterima oleh hakim sebagai bukti sempurna, apabila kata yang aslinya telah hilang.
3. Apabila salinan-salinan itu membuat menurut akta asli tidak dibuat oleh notaries, maka salinan itu tidak dapat dipakai sebagai bukti melainkan sebagai permulaan pembuktian dengan tertulis.
4. Salinan yang sah dari akta otentik atau akta dibawah tangan menurut keadaan dapat menjadi permulaan bukti dengan surat atau tulisan. (Pasal 302 RGB / 1988 KUHPerdata).

b. Saksi
Dalam Pasal (1895 KUHPerdata / Pasal 168 HIR) Pembuktian dengan saksi- saksi diperkenankan dalam segala hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang. Sebagai pengecualian adalah:
Contoh :
a. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan sengan perjanjian kawin atau dengan sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh notaris yang bersangkutan. (Pasal 150 KUHPerdata).
b. Perjanjuan pertanggungan hanya dapat dibuktian dengan polis. (Pasal 258 KUHDagang).
c. Sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan untuk mendapatkan akta nikah. (Pasal 1 (2) UU Perkawinan).

Menurut Pasal 169 HIR / 302 RBG / 1905 KUHPerdata “ keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum. Istilah Hukumnya “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian meskipun ada dua orang saksi, suatu peristiwa dapat dikatan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahui hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan khusus atau persangkaan / perasaan istimewa yang diperoleh melalui pikiran, bukan kesaksian. (Pasal 171 HIR / 302 RGB / 1907 KUHPerdata).
Jadi kesaksian itu harus diterangkan tentang pengetahuan saksi mengenai suatu peristiwa yang dialami sendiri dengan menyebutkan alasannya sampai ia mengetahui peristiwa itu.
Misalnya :
Saksi mengetahui peristiwa itu dengan melihat sendiri, mendengar sendiri, merasakan sendiri. Kalau hanya merupakan kesimpulan belaka yang didasarkan pada pendapat atau pemikiran atau keterangan yang didengar dari orang lain (pihak ketiga) yang dikenal dengan istilah testimonium de auditu, itu bukan kesaksian.
a. Saksi yang tidak mau hadir
Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi akan tetapi saksi tidak dapat dibawa menurut Pasal 145 RGB/121 HIR karena itu tidak mau menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memriksa saksi itu dengan memerintahkan seornag pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan.
Panggilan semacam itu dapat dilakukan terhadap saksi yang harus diperiksa oleh pengadilan dengan perintah karena jabatannya.Jika saksi tidak mau hadir yang ditentukan, maka ia dihukum oleh pengadilan membayar segala ongkus yang dikeluarkan dnegan sia-sia itu. Ia dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
b. Saksi yang sakit atau cacat badan
Apabila ternyata seorang saksi sakit atau cacat badan berhalangan untuk hadir menghadap ke persidangan pengadilan, baik karena suatu saat tidak dapat hadir maupun selama-lamanya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan dan kalau kesaksian itu dianggap perlu oleh pengadilan, ketua mengangkatseorang komisaris dari anggota pengadilan dan memerintahkan komisaris itu pergi ke rumah sakit dengan bantuan panitera memeriksa saksi tidak dengan sumpah menurut segala pernyataan yang ditulisakn oleh ketua dan hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara.
c. Saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum
Tidak seorang pun dapat diperiksa hadir menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata jika tempat tinggalnya berada diluar hukum pengadilan negeri itu. Jika saksi yang demikian dipanggil tetapi tidak hadir maka ia tidak dapat dihukum karena itu. Tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum saksi itu bertempat tinggal dan pengadilan itu wajib mengirimkan dengan segera berita acara pemeriksaan itu dan berita acara pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

d. Pemeriksaan saksi
Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu , dipanggil kedalam seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak disesuaikan keterangan mereka satu sama lain.
Ketua menanyakan nama, pekerjaan, umur, tempat tinggalk atau kediaman saksi itu. Ditanyakan pula apakah saksi tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan kedua belah pihak atau dengan salah satu pihak baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat keberapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak. Dalam perakteknya hakim selalu menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian meminta dan melihat KTP tersebut. Sedangkan dengan hubungan keluarga hal ini dimaksudkan untuk menentukan apakah saksi tersebut tidak dapatdidengar sebagai saksi.
e. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan (semenda) menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. Keturunan lurus meliputi, keturaunan lurus keatas dan lurus kebawah. Keatas yaitu : bapak-ibu/ bapak-ibu mertua, kakek-nenek/ kakek-nenek mertua, dan seterusnya. Kebaeah anak/anak menantu, cucu/cucu menantu dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut keturunan yang lurus.
Tapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara atau tentang suatu kedudukan perdata dari para pihak, dan dalam perkara tentang perjanjian kerja.
Kedudukan Perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalanya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan, perceraian.
Isteri/suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah umurnya sudah cukup 15 tahun. Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
f. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
Saudara laki-laki dan perempuan , ipar laki-laki dan perempuan dari dsalah satu pihak. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak , adalah kakak ipar dan adik ipar. Tatapi keluarga sedarah tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian kerja. Orang yang karana martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. Pengadilanlah yang mempertimbangkan benar tidaknya keterangan orang di atas. Mereka ini misalnya, notaries, dokter, advokat, polisi dan lain-lain.
g. Sumpah saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan labih dulu harus ia disumpah menurut agamanya. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah sebelumnya, b ukanlah merupakan alat bukti yang sah.
h. Saksi terhadap saksi yang tidak bersedia disumpah
JIka diluar hal tersebut pada Pasal 147 RGB / 147 HIR seorang saksi yang hadir dipersidangan tidak bersedia bersumpah atau tidak mau memberikan keterangan maka atas permintaan yang berkepentingan ketua dapat memberi perintah supaya saksi disandera. Penyanderaan dilakukan selama-lamanya 3 bulan, atas biaya pihak itu, kecuali jika sementara itu dipenuhi kewajibannya atau sudah dijatuhkan putusan oleh pengadilan dalam perkara itu, penyanderaan dilakukan sampai sampai saksi itu memenihi kewajibannya.
i. Saksi orang asing, bisu atau tuli
Pasal 177 KUHP menentuka (1) jika,… saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178 KUHP menentuka (1) jika,… saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan,… saksi itu.
Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah diancam dengan pidana (Pasal 242 KUHPidana). Tujuan undang-undang yang mengharuskan saksi bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan yang sebenernya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenernya. Sebab, bagi orang yang beragama, yang percaya akan kekuasaan Tuhan, ia tidak bergitu mudah memberikan keterangan yang tidak benar, sebab ia menyadari apabila memberikan keterangan yang tidak benar akan mendapat dosa atau kutukan dari Tuhan.
c. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata).
 Wirjono Prodjodikoro
Persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, yang dijadikan buktisebetulnya bulan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata.
Ada dua macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut undang-undang
b. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undnag
Menurut Pasal 1916 KUHPerdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan undang-undang .
Prasangka semacam itu adalah :
a. Perbuatan yang oleh undang-undnag dinyatakan batal, karana semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyeludupi suatu ketentuan undang-undang.
b. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasa utang disimpulkan dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang oleh undang-undnagdiberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

d. Pengakuan
 R. Subekti
Adalah tidak tepat