Kamis, 29 Januari 2009

Makalah Hukum Acara Perdata

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pembuktian
 Riduan Syahrani
Pembuktian adalah Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 R. Subekti
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian dalam suatu persengketaan itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

1. Pembuktian mengandung beberapa pengertian
 Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan bearti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma , yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang, dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Disini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan- kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
 Membuktikan dalam arti Konvensional
Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatife sifatnya mempunyai tingkatan-tongkatan :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif dan disebut conviction Intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

 Membuktikan dalam arti Yuridis
Di dalam hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlkaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti Yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan “historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Bail dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktiakan dalam arti yuridis tidak lain memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa yang bergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan atau sumpah.
Terhadap soal bukti dan penerimaan atau penolakan alat-alat bukti dalam perkara perdata yang menjadi wewenang hakim distrik, pengadilan distrik, pengadilan oleh jaksa, dan pengadilan oleh negeri, harus diperhatiakan peraturan-peraturan pokok. (pasal 281).Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang harus membuktikan hak atau keadaan itu. (pasal 283).
B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RGB “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, nenunjukan pada suatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa”.
Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwa saja melainkan juga suatu hak.
Contoh:
Warisan Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta waris belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan telah dibagi.
Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi, jika Penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negative bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapus atau membantah hak Penggugat tersebut. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian , hakim harus bertindak arif ndan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu Dibuktikan
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukum yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan keputusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Contoh :
Dalam perkara utang piutang, maka tidak relevant bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevant adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya bukti-bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok berikut ini.
Ketentuan dalam pasal tersebut diatas merupakanperintah kepada hakim utuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pagkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu Pasal 163 dan seterusnya. ( Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989:52-53).

D. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka siding pengadilan, tidak semua hal perlu dibuktikan, melainkan ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :

1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan.
Contoh :
Jika Penggugat mengatakan Tergugat meminjam uang kepada Penggugat, gugatan mana kemudian diakui oleh Tergugat, maka Penggugat tidak perlu lagi membuktikan adanya utang pinjam meminjam uang tersebut.
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
Contoh :
Hakim melihat sendiri, barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai oleh Penggugat lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umu (peristiwa notoir = notoirfeiten )
Contoh :
Sungai-sungai di pulau Jawa bila musim hujan sering banjir dan bila musim kemarau kekurangan air.
Menurut Asser – Anema – Verdam , dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
 Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dobuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugata penggungat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memelukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RGB / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Sedangkan menurut Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
a. Surat atau Tulisan
b. Keterangan Ahli
c. Keterangan Saksi
d. Pengakuan para Pihak
e. Pengetahuan Hakim
Menurut UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur mengenai alat-alat bukti.
 Platon
Alat bukti dapat bersifat oral , documentary atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dipersidangan.
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Trmasuk dalam alat bukti yang bersifat dokumentari adalah surat. Sedangkan termasuk dalam a;at bukti yang bersifat material adalah barang fisik selain dokumen, yang menurut E.W. Cleary disebut juga demonstrative evidence.
a. Alat Bukti Tulisan atau Surat
Alat Pembuktian Tulisan atau Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.Tanda- tanda yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kajian dan sebagaiinya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur pad apasal 165- 167 HIR / 282 – 305 RBG dan Pada Pasal 1 867-1894 KUH Perdata.
Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau m,eskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengeti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan atau surat. Potret atau gambar dan peta atau denah karena tidak memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu fikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Kalau potret, gambar, peta atau denah diajukan juga dipersidangan pengadilan, maka fungsinya hanyalah sekedar sebgai barang untuk menambah keyakinan saja bagi hakim.
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
 Akta
Adalah surat atau lulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akna ini ada dua macam yaitu :
a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undnag oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari nya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu.

Akta Otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan undang-undang yang berwenang membuat surat itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantim didalamnya.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah Notaris, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Panitera Pengadilan, Pegawai Pencatatan Perkawinan.
Dengan demikian akta otentik dibagi dua macam, yaitu :
 Akta Otentik yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk)
Misalnya :
Berita acara yang pemeriksaan pengadilan yang dibuat panitera, Berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita, berita acara pelanggaran lalulintas yang dibuat oleh polisi, seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadiri para pemegang saham dari suatu perseorang terbatas.
 Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Misalnya :
Akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaries selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Akta otentik merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Cukup mengikat dalam arti bahwa sebagai sesuatu yang benar, selam atidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahanalat bukti lain.

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.

Akta dibawah Tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam Lembaran Negara 1867 No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RGB.Akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 1867-1894 KUHPerdata.
Dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu, surat , daftar, surat urusan rumah tangga, dan surat yang ditandatangani serta dibubuhi dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 Stbl, 1867 No. 29 / 286 (1) RGB / 1878 KUHPerdata.
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar diperlihatkan.(Pasal 301 (1) dan (2) RGB / 1888 KUHPerdata.
Jika akta asli tidak ada lagi, maka salinan itu menjadi bukti dengan mengingat aturan yang tersebut dibawah ini :
1. Salianan yang pertama dikeluarkan menjadi bukti yang sama dengan akta asli, demikian pula halnya salinan yang dibuat dengan perhatian hakim dihadapan kedua belah pihak, dan salinan yang dibuat dihadapkan kedua belah pihak dan dengan kerelaan mereka berdua.
2. Salinan-salinan yang tanpa perantara hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudah dikeluarkan salinan yag pertama dibuat oleh notaries yang hadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-akta asli dan berkuasa memberikan salinan, dapat diterima oleh hakim sebagai bukti sempurna, apabila kata yang aslinya telah hilang.
3. Apabila salinan-salinan itu membuat menurut akta asli tidak dibuat oleh notaries, maka salinan itu tidak dapat dipakai sebagai bukti melainkan sebagai permulaan pembuktian dengan tertulis.
4. Salinan yang sah dari akta otentik atau akta dibawah tangan menurut keadaan dapat menjadi permulaan bukti dengan surat atau tulisan. (Pasal 302 RGB / 1988 KUHPerdata).

b. Saksi
Dalam Pasal (1895 KUHPerdata / Pasal 168 HIR) Pembuktian dengan saksi- saksi diperkenankan dalam segala hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang. Sebagai pengecualian adalah:
Contoh :
a. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan sengan perjanjian kawin atau dengan sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh notaris yang bersangkutan. (Pasal 150 KUHPerdata).
b. Perjanjuan pertanggungan hanya dapat dibuktian dengan polis. (Pasal 258 KUHDagang).
c. Sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan untuk mendapatkan akta nikah. (Pasal 1 (2) UU Perkawinan).

Menurut Pasal 169 HIR / 302 RBG / 1905 KUHPerdata “ keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum. Istilah Hukumnya “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian meskipun ada dua orang saksi, suatu peristiwa dapat dikatan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahui hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan khusus atau persangkaan / perasaan istimewa yang diperoleh melalui pikiran, bukan kesaksian. (Pasal 171 HIR / 302 RGB / 1907 KUHPerdata).
Jadi kesaksian itu harus diterangkan tentang pengetahuan saksi mengenai suatu peristiwa yang dialami sendiri dengan menyebutkan alasannya sampai ia mengetahui peristiwa itu.
Misalnya :
Saksi mengetahui peristiwa itu dengan melihat sendiri, mendengar sendiri, merasakan sendiri. Kalau hanya merupakan kesimpulan belaka yang didasarkan pada pendapat atau pemikiran atau keterangan yang didengar dari orang lain (pihak ketiga) yang dikenal dengan istilah testimonium de auditu, itu bukan kesaksian.
a. Saksi yang tidak mau hadir
Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi akan tetapi saksi tidak dapat dibawa menurut Pasal 145 RGB/121 HIR karena itu tidak mau menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memriksa saksi itu dengan memerintahkan seornag pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan.
Panggilan semacam itu dapat dilakukan terhadap saksi yang harus diperiksa oleh pengadilan dengan perintah karena jabatannya.Jika saksi tidak mau hadir yang ditentukan, maka ia dihukum oleh pengadilan membayar segala ongkus yang dikeluarkan dnegan sia-sia itu. Ia dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
b. Saksi yang sakit atau cacat badan
Apabila ternyata seorang saksi sakit atau cacat badan berhalangan untuk hadir menghadap ke persidangan pengadilan, baik karena suatu saat tidak dapat hadir maupun selama-lamanya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan dan kalau kesaksian itu dianggap perlu oleh pengadilan, ketua mengangkatseorang komisaris dari anggota pengadilan dan memerintahkan komisaris itu pergi ke rumah sakit dengan bantuan panitera memeriksa saksi tidak dengan sumpah menurut segala pernyataan yang ditulisakn oleh ketua dan hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara.
c. Saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum
Tidak seorang pun dapat diperiksa hadir menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata jika tempat tinggalnya berada diluar hukum pengadilan negeri itu. Jika saksi yang demikian dipanggil tetapi tidak hadir maka ia tidak dapat dihukum karena itu. Tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum saksi itu bertempat tinggal dan pengadilan itu wajib mengirimkan dengan segera berita acara pemeriksaan itu dan berita acara pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

d. Pemeriksaan saksi
Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu , dipanggil kedalam seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak disesuaikan keterangan mereka satu sama lain.
Ketua menanyakan nama, pekerjaan, umur, tempat tinggalk atau kediaman saksi itu. Ditanyakan pula apakah saksi tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan kedua belah pihak atau dengan salah satu pihak baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat keberapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak. Dalam perakteknya hakim selalu menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian meminta dan melihat KTP tersebut. Sedangkan dengan hubungan keluarga hal ini dimaksudkan untuk menentukan apakah saksi tersebut tidak dapatdidengar sebagai saksi.
e. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan (semenda) menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. Keturunan lurus meliputi, keturaunan lurus keatas dan lurus kebawah. Keatas yaitu : bapak-ibu/ bapak-ibu mertua, kakek-nenek/ kakek-nenek mertua, dan seterusnya. Kebaeah anak/anak menantu, cucu/cucu menantu dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut keturunan yang lurus.
Tapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara atau tentang suatu kedudukan perdata dari para pihak, dan dalam perkara tentang perjanjian kerja.
Kedudukan Perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalanya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan, perceraian.
Isteri/suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah umurnya sudah cukup 15 tahun. Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
f. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
Saudara laki-laki dan perempuan , ipar laki-laki dan perempuan dari dsalah satu pihak. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak , adalah kakak ipar dan adik ipar. Tatapi keluarga sedarah tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian kerja. Orang yang karana martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. Pengadilanlah yang mempertimbangkan benar tidaknya keterangan orang di atas. Mereka ini misalnya, notaries, dokter, advokat, polisi dan lain-lain.
g. Sumpah saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan labih dulu harus ia disumpah menurut agamanya. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah sebelumnya, b ukanlah merupakan alat bukti yang sah.
h. Saksi terhadap saksi yang tidak bersedia disumpah
JIka diluar hal tersebut pada Pasal 147 RGB / 147 HIR seorang saksi yang hadir dipersidangan tidak bersedia bersumpah atau tidak mau memberikan keterangan maka atas permintaan yang berkepentingan ketua dapat memberi perintah supaya saksi disandera. Penyanderaan dilakukan selama-lamanya 3 bulan, atas biaya pihak itu, kecuali jika sementara itu dipenuhi kewajibannya atau sudah dijatuhkan putusan oleh pengadilan dalam perkara itu, penyanderaan dilakukan sampai sampai saksi itu memenihi kewajibannya.
i. Saksi orang asing, bisu atau tuli
Pasal 177 KUHP menentuka (1) jika,… saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178 KUHP menentuka (1) jika,… saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan,… saksi itu.
Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah diancam dengan pidana (Pasal 242 KUHPidana). Tujuan undang-undang yang mengharuskan saksi bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan yang sebenernya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenernya. Sebab, bagi orang yang beragama, yang percaya akan kekuasaan Tuhan, ia tidak bergitu mudah memberikan keterangan yang tidak benar, sebab ia menyadari apabila memberikan keterangan yang tidak benar akan mendapat dosa atau kutukan dari Tuhan.
c. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata).
 Wirjono Prodjodikoro
Persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, yang dijadikan buktisebetulnya bulan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata.
Ada dua macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut undang-undang
b. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undnag
Menurut Pasal 1916 KUHPerdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan undang-undang .
Prasangka semacam itu adalah :
a. Perbuatan yang oleh undang-undnag dinyatakan batal, karana semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyeludupi suatu ketentuan undang-undang.
b. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasa utang disimpulkan dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang oleh undang-undnagdiberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

d. Pengakuan
 R. Subekti
Adalah tidak tepat





























PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pembuktian
 Riduan Syahrani
Pembuktian adalah Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 R. Subekti
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian dalam suatu persengketaan itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

1. Pembuktian mengandung beberapa pengertian
 Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan bearti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma , yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang, dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Disini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan- kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
 Membuktikan dalam arti Konvensional
Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatife sifatnya mempunyai tingkatan-tongkatan :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif dan disebut conviction Intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

 Membuktikan dalam arti Yuridis
Di dalam hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlkaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti Yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan “historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Bail dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktiakan dalam arti yuridis tidak lain memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa yang bergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan atau sumpah.
Terhadap soal bukti dan penerimaan atau penolakan alat-alat bukti dalam perkara perdata yang menjadi wewenang hakim distrik, pengadilan distrik, pengadilan oleh jaksa, dan pengadilan oleh negeri, harus diperhatiakan peraturan-peraturan pokok. (pasal 281).Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang harus membuktikan hak atau keadaan itu. (pasal 283).
B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RGB “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, nenunjukan pada suatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa”.
Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwa saja melainkan juga suatu hak.
Contoh:
Warisan Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta waris belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan telah dibagi.
Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi, jika Penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negative bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapus atau membantah hak Penggugat tersebut. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian , hakim harus bertindak arif ndan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu Dibuktikan
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukum yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan keputusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Contoh :
Dalam perkara utang piutang, maka tidak relevant bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevant adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya bukti-bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok berikut ini.
Ketentuan dalam pasal tersebut diatas merupakanperintah kepada hakim utuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pagkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu Pasal 163 dan seterusnya. ( Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989:52-53).

D. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka siding pengadilan, tidak semua hal perlu dibuktikan, melainkan ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :

1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan.
Contoh :
Jika Penggugat mengatakan Tergugat meminjam uang kepada Penggugat, gugatan mana kemudian diakui oleh Tergugat, maka Penggugat tidak perlu lagi membuktikan adanya utang pinjam meminjam uang tersebut.
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
Contoh :
Hakim melihat sendiri, barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai oleh Penggugat lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umu (peristiwa notoir = notoirfeiten )
Contoh :
Sungai-sungai di pulau Jawa bila musim hujan sering banjir dan bila musim kemarau kekurangan air.
Menurut Asser – Anema – Verdam , dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
 Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dobuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugata penggungat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memelukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RGB / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Sedangkan menurut Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
a. Surat atau Tulisan
b. Keterangan Ahli
c. Keterangan Saksi
d. Pengakuan para Pihak
e. Pengetahuan Hakim
Menurut UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur mengenai alat-alat bukti.
 Platon
Alat bukti dapat bersifat oral , documentary atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dipersidangan.
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Trmasuk dalam alat bukti yang bersifat dokumentari adalah surat. Sedangkan termasuk dalam a;at bukti yang bersifat material adalah barang fisik selain dokumen, yang menurut E.W. Cleary disebut juga demonstrative evidence.
a. Alat Bukti Tulisan atau Surat
Alat Pembuktian Tulisan atau Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.Tanda- tanda yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kajian dan sebagaiinya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur pad apasal 165- 167 HIR / 282 – 305 RBG dan Pada Pasal 1 867-1894 KUH Perdata.
Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau m,eskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengeti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan atau surat. Potret atau gambar dan peta atau denah karena tidak memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu fikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Kalau potret, gambar, peta atau denah diajukan juga dipersidangan pengadilan, maka fungsinya hanyalah sekedar sebgai barang untuk menambah keyakinan saja bagi hakim.
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
 Akta
Adalah surat atau lulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akna ini ada dua macam yaitu :
a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undnag oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari nya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu.

Akta Otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan undang-undang yang berwenang membuat surat itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantim didalamnya.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah Notaris, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Panitera Pengadilan, Pegawai Pencatatan Perkawinan.
Dengan demikian akta otentik dibagi dua macam, yaitu :
 Akta Otentik yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk)
Misalnya :
Berita acara yang pemeriksaan pengadilan yang dibuat panitera, Berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita, berita acara pelanggaran lalulintas yang dibuat oleh polisi, seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadiri para pemegang saham dari suatu perseorang terbatas.
 Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Misalnya :
Akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaries selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Akta otentik merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Cukup mengikat dalam arti bahwa sebagai sesuatu yang benar, selam atidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahanalat bukti lain.

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.

Akta dibawah Tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam Lembaran Negara 1867 No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RGB.Akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 1867-1894 KUHPerdata.
Dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu, surat , daftar, surat urusan rumah tangga, dan surat yang ditandatangani serta dibubuhi dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 Stbl, 1867 No. 29 / 286 (1) RGB / 1878 KUHPerdata.
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar diperlihatkan.(Pasal 301 (1) dan (2) RGB / 1888 KUHPerdata.
Jika akta asli tidak ada lagi, maka salinan itu menjadi bukti dengan mengingat aturan yang tersebut dibawah ini :
1. Salianan yang pertama dikeluarkan menjadi bukti yang sama dengan akta asli, demikian pula halnya salinan yang dibuat dengan perhatian hakim dihadapan kedua belah pihak, dan salinan yang dibuat dihadapkan kedua belah pihak dan dengan kerelaan mereka berdua.
2. Salinan-salinan yang tanpa perantara hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudah dikeluarkan salinan yag pertama dibuat oleh notaries yang hadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-akta asli dan berkuasa memberikan salinan, dapat diterima oleh hakim sebagai bukti sempurna, apabila kata yang aslinya telah hilang.
3. Apabila salinan-salinan itu membuat menurut akta asli tidak dibuat oleh notaries, maka salinan itu tidak dapat dipakai sebagai bukti melainkan sebagai permulaan pembuktian dengan tertulis.
4. Salinan yang sah dari akta otentik atau akta dibawah tangan menurut keadaan dapat menjadi permulaan bukti dengan surat atau tulisan. (Pasal 302 RGB / 1988 KUHPerdata).

b. Saksi
Dalam Pasal (1895 KUHPerdata / Pasal 168 HIR) Pembuktian dengan saksi- saksi diperkenankan dalam segala hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang. Sebagai pengecualian adalah:
Contoh :
a. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan sengan perjanjian kawin atau dengan sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh notaris yang bersangkutan. (Pasal 150 KUHPerdata).
b. Perjanjuan pertanggungan hanya dapat dibuktian dengan polis. (Pasal 258 KUHDagang).
c. Sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan untuk mendapatkan akta nikah. (Pasal 1 (2) UU Perkawinan).

Menurut Pasal 169 HIR / 302 RBG / 1905 KUHPerdata “ keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum. Istilah Hukumnya “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian meskipun ada dua orang saksi, suatu peristiwa dapat dikatan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahui hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan khusus atau persangkaan / perasaan istimewa yang diperoleh melalui pikiran, bukan kesaksian. (Pasal 171 HIR / 302 RGB / 1907 KUHPerdata).
Jadi kesaksian itu harus diterangkan tentang pengetahuan saksi mengenai suatu peristiwa yang dialami sendiri dengan menyebutkan alasannya sampai ia mengetahui peristiwa itu.
Misalnya :
Saksi mengetahui peristiwa itu dengan melihat sendiri, mendengar sendiri, merasakan sendiri. Kalau hanya merupakan kesimpulan belaka yang didasarkan pada pendapat atau pemikiran atau keterangan yang didengar dari orang lain (pihak ketiga) yang dikenal dengan istilah testimonium de auditu, itu bukan kesaksian.
a. Saksi yang tidak mau hadir
Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi akan tetapi saksi tidak dapat dibawa menurut Pasal 145 RGB/121 HIR karena itu tidak mau menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memriksa saksi itu dengan memerintahkan seornag pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan.
Panggilan semacam itu dapat dilakukan terhadap saksi yang harus diperiksa oleh pengadilan dengan perintah karena jabatannya.Jika saksi tidak mau hadir yang ditentukan, maka ia dihukum oleh pengadilan membayar segala ongkus yang dikeluarkan dnegan sia-sia itu. Ia dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
b. Saksi yang sakit atau cacat badan
Apabila ternyata seorang saksi sakit atau cacat badan berhalangan untuk hadir menghadap ke persidangan pengadilan, baik karena suatu saat tidak dapat hadir maupun selama-lamanya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan dan kalau kesaksian itu dianggap perlu oleh pengadilan, ketua mengangkatseorang komisaris dari anggota pengadilan dan memerintahkan komisaris itu pergi ke rumah sakit dengan bantuan panitera memeriksa saksi tidak dengan sumpah menurut segala pernyataan yang ditulisakn oleh ketua dan hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara.
c. Saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum
Tidak seorang pun dapat diperiksa hadir menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata jika tempat tinggalnya berada diluar hukum pengadilan negeri itu. Jika saksi yang demikian dipanggil tetapi tidak hadir maka ia tidak dapat dihukum karena itu. Tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum saksi itu bertempat tinggal dan pengadilan itu wajib mengirimkan dengan segera berita acara pemeriksaan itu dan berita acara pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

d. Pemeriksaan saksi
Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu , dipanggil kedalam seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak disesuaikan keterangan mereka satu sama lain.
Ketua menanyakan nama, pekerjaan, umur, tempat tinggalk atau kediaman saksi itu. Ditanyakan pula apakah saksi tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan kedua belah pihak atau dengan salah satu pihak baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat keberapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak. Dalam perakteknya hakim selalu menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian meminta dan melihat KTP tersebut. Sedangkan dengan hubungan keluarga hal ini dimaksudkan untuk menentukan apakah saksi tersebut tidak dapatdidengar sebagai saksi.
e. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan (semenda) menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. Keturunan lurus meliputi, keturaunan lurus keatas dan lurus kebawah. Keatas yaitu : bapak-ibu/ bapak-ibu mertua, kakek-nenek/ kakek-nenek mertua, dan seterusnya. Kebaeah anak/anak menantu, cucu/cucu menantu dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut keturunan yang lurus.
Tapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara atau tentang suatu kedudukan perdata dari para pihak, dan dalam perkara tentang perjanjian kerja.
Kedudukan Perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalanya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan, perceraian.
Isteri/suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah umurnya sudah cukup 15 tahun. Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
f. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
Saudara laki-laki dan perempuan , ipar laki-laki dan perempuan dari dsalah satu pihak. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak , adalah kakak ipar dan adik ipar. Tatapi keluarga sedarah tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian kerja. Orang yang karana martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. Pengadilanlah yang mempertimbangkan benar tidaknya keterangan orang di atas. Mereka ini misalnya, notaries, dokter, advokat, polisi dan lain-lain.
g. Sumpah saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan labih dulu harus ia disumpah menurut agamanya. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah sebelumnya, b ukanlah merupakan alat bukti yang sah.
h. Saksi terhadap saksi yang tidak bersedia disumpah
JIka diluar hal tersebut pada Pasal 147 RGB / 147 HIR seorang saksi yang hadir dipersidangan tidak bersedia bersumpah atau tidak mau memberikan keterangan maka atas permintaan yang berkepentingan ketua dapat memberi perintah supaya saksi disandera. Penyanderaan dilakukan selama-lamanya 3 bulan, atas biaya pihak itu, kecuali jika sementara itu dipenuhi kewajibannya atau sudah dijatuhkan putusan oleh pengadilan dalam perkara itu, penyanderaan dilakukan sampai sampai saksi itu memenihi kewajibannya.
i. Saksi orang asing, bisu atau tuli
Pasal 177 KUHP menentuka (1) jika,… saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178 KUHP menentuka (1) jika,… saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan,… saksi itu.
Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah diancam dengan pidana (Pasal 242 KUHPidana). Tujuan undang-undang yang mengharuskan saksi bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan yang sebenernya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenernya. Sebab, bagi orang yang beragama, yang percaya akan kekuasaan Tuhan, ia tidak bergitu mudah memberikan keterangan yang tidak benar, sebab ia menyadari apabila memberikan keterangan yang tidak benar akan mendapat dosa atau kutukan dari Tuhan.
c. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata).
 Wirjono Prodjodikoro
Persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, yang dijadikan buktisebetulnya bulan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata.
Ada dua macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut undang-undang
b. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undnag
Menurut Pasal 1916 KUHPerdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan undang-undang .
Prasangka semacam itu adalah :
a. Perbuatan yang oleh undang-undnag dinyatakan batal, karana semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyeludupi suatu ketentuan undang-undang.
b. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasa utang disimpulkan dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang oleh undang-undnagdiberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

d. Pengakuan
 R. Subekti
Adalah tidak tepat





























PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pembuktian
 Riduan Syahrani
Pembuktian adalah Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 R. Subekti
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian dalam suatu persengketaan itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

1. Pembuktian mengandung beberapa pengertian
 Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan bearti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma , yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang, dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Disini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan- kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
 Membuktikan dalam arti Konvensional
Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatife sifatnya mempunyai tingkatan-tongkatan :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif dan disebut conviction Intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

 Membuktikan dalam arti Yuridis
Di dalam hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlkaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti Yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan “historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Bail dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktiakan dalam arti yuridis tidak lain memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa yang bergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan atau sumpah.
Terhadap soal bukti dan penerimaan atau penolakan alat-alat bukti dalam perkara perdata yang menjadi wewenang hakim distrik, pengadilan distrik, pengadilan oleh jaksa, dan pengadilan oleh negeri, harus diperhatiakan peraturan-peraturan pokok. (pasal 281).Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang harus membuktikan hak atau keadaan itu. (pasal 283).
B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RGB “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, nenunjukan pada suatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa”.
Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwa saja melainkan juga suatu hak.
Contoh:
Warisan Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta waris belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan telah dibagi.
Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi, jika Penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negative bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapus atau membantah hak Penggugat tersebut. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian , hakim harus bertindak arif ndan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu Dibuktikan
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukum yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan keputusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Contoh :
Dalam perkara utang piutang, maka tidak relevant bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevant adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya bukti-bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok berikut ini.
Ketentuan dalam pasal tersebut diatas merupakanperintah kepada hakim utuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pagkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu Pasal 163 dan seterusnya. ( Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989:52-53).

D. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka siding pengadilan, tidak semua hal perlu dibuktikan, melainkan ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :

1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan.
Contoh :
Jika Penggugat mengatakan Tergugat meminjam uang kepada Penggugat, gugatan mana kemudian diakui oleh Tergugat, maka Penggugat tidak perlu lagi membuktikan adanya utang pinjam meminjam uang tersebut.
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
Contoh :
Hakim melihat sendiri, barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai oleh Penggugat lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umu (peristiwa notoir = notoirfeiten )
Contoh :
Sungai-sungai di pulau Jawa bila musim hujan sering banjir dan bila musim kemarau kekurangan air.
Menurut Asser – Anema – Verdam , dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
 Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dobuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugata penggungat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memelukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RGB / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Sedangkan menurut Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
a. Surat atau Tulisan
b. Keterangan Ahli
c. Keterangan Saksi
d. Pengakuan para Pihak
e. Pengetahuan Hakim
Menurut UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur mengenai alat-alat bukti.
 Platon
Alat bukti dapat bersifat oral , documentary atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dipersidangan.
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Trmasuk dalam alat bukti yang bersifat dokumentari adalah surat. Sedangkan termasuk dalam a;at bukti yang bersifat material adalah barang fisik selain dokumen, yang menurut E.W. Cleary disebut juga demonstrative evidence.
a. Alat Bukti Tulisan atau Surat
Alat Pembuktian Tulisan atau Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.Tanda- tanda yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kajian dan sebagaiinya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur pad apasal 165- 167 HIR / 282 – 305 RBG dan Pada Pasal 1 867-1894 KUH Perdata.
Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau m,eskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengeti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan atau surat. Potret atau gambar dan peta atau denah karena tidak memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu fikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Kalau potret, gambar, peta atau denah diajukan juga dipersidangan pengadilan, maka fungsinya hanyalah sekedar sebgai barang untuk menambah keyakinan saja bagi hakim.
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
 Akta
Adalah surat atau lulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akna ini ada dua macam yaitu :
a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undnag oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari nya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu.

Akta Otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan undang-undang yang berwenang membuat surat itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantim didalamnya.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah Notaris, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Panitera Pengadilan, Pegawai Pencatatan Perkawinan.
Dengan demikian akta otentik dibagi dua macam, yaitu :
 Akta Otentik yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk)
Misalnya :
Berita acara yang pemeriksaan pengadilan yang dibuat panitera, Berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita, berita acara pelanggaran lalulintas yang dibuat oleh polisi, seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadiri para pemegang saham dari suatu perseorang terbatas.
 Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Misalnya :
Akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaries selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Akta otentik merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Cukup mengikat dalam arti bahwa sebagai sesuatu yang benar, selam atidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahanalat bukti lain.

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.

Akta dibawah Tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam Lembaran Negara 1867 No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RGB.Akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 1867-1894 KUHPerdata.
Dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu, surat , daftar, surat urusan rumah tangga, dan surat yang ditandatangani serta dibubuhi dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 Stbl, 1867 No. 29 / 286 (1) RGB / 1878 KUHPerdata.
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar diperlihatkan.(Pasal 301 (1) dan (2) RGB / 1888 KUHPerdata.
Jika akta asli tidak ada lagi, maka salinan itu menjadi bukti dengan mengingat aturan yang tersebut dibawah ini :
1. Salianan yang pertama dikeluarkan menjadi bukti yang sama dengan akta asli, demikian pula halnya salinan yang dibuat dengan perhatian hakim dihadapan kedua belah pihak, dan salinan yang dibuat dihadapkan kedua belah pihak dan dengan kerelaan mereka berdua.
2. Salinan-salinan yang tanpa perantara hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudah dikeluarkan salinan yag pertama dibuat oleh notaries yang hadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-akta asli dan berkuasa memberikan salinan, dapat diterima oleh hakim sebagai bukti sempurna, apabila kata yang aslinya telah hilang.
3. Apabila salinan-salinan itu membuat menurut akta asli tidak dibuat oleh notaries, maka salinan itu tidak dapat dipakai sebagai bukti melainkan sebagai permulaan pembuktian dengan tertulis.
4. Salinan yang sah dari akta otentik atau akta dibawah tangan menurut keadaan dapat menjadi permulaan bukti dengan surat atau tulisan. (Pasal 302 RGB / 1988 KUHPerdata).

b. Saksi
Dalam Pasal (1895 KUHPerdata / Pasal 168 HIR) Pembuktian dengan saksi- saksi diperkenankan dalam segala hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang. Sebagai pengecualian adalah:
Contoh :
a. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan sengan perjanjian kawin atau dengan sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh notaris yang bersangkutan. (Pasal 150 KUHPerdata).
b. Perjanjuan pertanggungan hanya dapat dibuktian dengan polis. (Pasal 258 KUHDagang).
c. Sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan untuk mendapatkan akta nikah. (Pasal 1 (2) UU Perkawinan).

Menurut Pasal 169 HIR / 302 RBG / 1905 KUHPerdata “ keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum. Istilah Hukumnya “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian meskipun ada dua orang saksi, suatu peristiwa dapat dikatan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahui hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan khusus atau persangkaan / perasaan istimewa yang diperoleh melalui pikiran, bukan kesaksian. (Pasal 171 HIR / 302 RGB / 1907 KUHPerdata).
Jadi kesaksian itu harus diterangkan tentang pengetahuan saksi mengenai suatu peristiwa yang dialami sendiri dengan menyebutkan alasannya sampai ia mengetahui peristiwa itu.
Misalnya :
Saksi mengetahui peristiwa itu dengan melihat sendiri, mendengar sendiri, merasakan sendiri. Kalau hanya merupakan kesimpulan belaka yang didasarkan pada pendapat atau pemikiran atau keterangan yang didengar dari orang lain (pihak ketiga) yang dikenal dengan istilah testimonium de auditu, itu bukan kesaksian.
a. Saksi yang tidak mau hadir
Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi akan tetapi saksi tidak dapat dibawa menurut Pasal 145 RGB/121 HIR karena itu tidak mau menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memriksa saksi itu dengan memerintahkan seornag pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan.
Panggilan semacam itu dapat dilakukan terhadap saksi yang harus diperiksa oleh pengadilan dengan perintah karena jabatannya.Jika saksi tidak mau hadir yang ditentukan, maka ia dihukum oleh pengadilan membayar segala ongkus yang dikeluarkan dnegan sia-sia itu. Ia dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
b. Saksi yang sakit atau cacat badan
Apabila ternyata seorang saksi sakit atau cacat badan berhalangan untuk hadir menghadap ke persidangan pengadilan, baik karena suatu saat tidak dapat hadir maupun selama-lamanya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan dan kalau kesaksian itu dianggap perlu oleh pengadilan, ketua mengangkatseorang komisaris dari anggota pengadilan dan memerintahkan komisaris itu pergi ke rumah sakit dengan bantuan panitera memeriksa saksi tidak dengan sumpah menurut segala pernyataan yang ditulisakn oleh ketua dan hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara.
c. Saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum
Tidak seorang pun dapat diperiksa hadir menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata jika tempat tinggalnya berada diluar hukum pengadilan negeri itu. Jika saksi yang demikian dipanggil tetapi tidak hadir maka ia tidak dapat dihukum karena itu. Tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum saksi itu bertempat tinggal dan pengadilan itu wajib mengirimkan dengan segera berita acara pemeriksaan itu dan berita acara pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

d. Pemeriksaan saksi
Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu , dipanggil kedalam seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak disesuaikan keterangan mereka satu sama lain.
Ketua menanyakan nama, pekerjaan, umur, tempat tinggalk atau kediaman saksi itu. Ditanyakan pula apakah saksi tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan kedua belah pihak atau dengan salah satu pihak baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat keberapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak. Dalam perakteknya hakim selalu menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian meminta dan melihat KTP tersebut. Sedangkan dengan hubungan keluarga hal ini dimaksudkan untuk menentukan apakah saksi tersebut tidak dapatdidengar sebagai saksi.
e. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan (semenda) menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. Keturunan lurus meliputi, keturaunan lurus keatas dan lurus kebawah. Keatas yaitu : bapak-ibu/ bapak-ibu mertua, kakek-nenek/ kakek-nenek mertua, dan seterusnya. Kebaeah anak/anak menantu, cucu/cucu menantu dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut keturunan yang lurus.
Tapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara atau tentang suatu kedudukan perdata dari para pihak, dan dalam perkara tentang perjanjian kerja.
Kedudukan Perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalanya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan, perceraian.
Isteri/suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah umurnya sudah cukup 15 tahun. Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
f. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
Saudara laki-laki dan perempuan , ipar laki-laki dan perempuan dari dsalah satu pihak. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak , adalah kakak ipar dan adik ipar. Tatapi keluarga sedarah tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian kerja. Orang yang karana martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. Pengadilanlah yang mempertimbangkan benar tidaknya keterangan orang di atas. Mereka ini misalnya, notaries, dokter, advokat, polisi dan lain-lain.
g. Sumpah saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan labih dulu harus ia disumpah menurut agamanya. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah sebelumnya, b ukanlah merupakan alat bukti yang sah.
h. Saksi terhadap saksi yang tidak bersedia disumpah
JIka diluar hal tersebut pada Pasal 147 RGB / 147 HIR seorang saksi yang hadir dipersidangan tidak bersedia bersumpah atau tidak mau memberikan keterangan maka atas permintaan yang berkepentingan ketua dapat memberi perintah supaya saksi disandera. Penyanderaan dilakukan selama-lamanya 3 bulan, atas biaya pihak itu, kecuali jika sementara itu dipenuhi kewajibannya atau sudah dijatuhkan putusan oleh pengadilan dalam perkara itu, penyanderaan dilakukan sampai sampai saksi itu memenihi kewajibannya.
i. Saksi orang asing, bisu atau tuli
Pasal 177 KUHP menentuka (1) jika,… saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178 KUHP menentuka (1) jika,… saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan,… saksi itu.
Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah diancam dengan pidana (Pasal 242 KUHPidana). Tujuan undang-undang yang mengharuskan saksi bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan yang sebenernya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenernya. Sebab, bagi orang yang beragama, yang percaya akan kekuasaan Tuhan, ia tidak bergitu mudah memberikan keterangan yang tidak benar, sebab ia menyadari apabila memberikan keterangan yang tidak benar akan mendapat dosa atau kutukan dari Tuhan.
c. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata).
 Wirjono Prodjodikoro
Persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, yang dijadikan buktisebetulnya bulan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata.
Ada dua macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut undang-undang
b. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undnag
Menurut Pasal 1916 KUHPerdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan undang-undang .
Prasangka semacam itu adalah :
a. Perbuatan yang oleh undang-undnag dinyatakan batal, karana semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyeludupi suatu ketentuan undang-undang.
b. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasa utang disimpulkan dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang oleh undang-undnagdiberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

d. Pengakuan
 R. Subekti
Adalah tidak tepat

Tidak ada komentar: