Kamis, 29 Januari 2009

Makalah Hukum Organisasi Internasional

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana tercantum dalam konversi Jenewa 1958 sesuai dengan hukum laut kasik pada intinya laut dibagi dalam dua kawasan, yaitu laut teritorial dan laut lepas.
Negara-negara pantai mempunyai kedaulatan penuh dilaut teritorialnya (termasuk dasar laut dan udara di atasnya) disertai kewajiban untuk menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. Meskipun demikian, tidak terdapat kesempatan untuk menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
Meskipun demikian, tidak terdapat kesepakata mengenai lebar laut teritorial sehingga Negara-negara pantai menetapkannya secara sepihak. Sebagaian besar Negara pantai membatasi tuntutannya sampai selebar 12 Mil laut, tetapi beberapa Negara (khususnya di Amerika Latin terutama Chili, Ekuador dan Peru) menuntut lebih dari itu, bahkan ada yang menuntut sampai 200 Mil dari pantainya. Selain itu juga ada beberapa Negara yang selain menetapkan lebar laut teritorialnya 3 mil laut juga ditambah dengan yurisdiksi perikanan pada jalur yang lebih lebar misalnya 12 mil.
Meskipun demikian, kesepakatan mengenai garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial telah tercapai sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalaur Tambahan.
Konvensi Jenewa 1958 yang lainnya (konvensi tentang laut lepas), merupakan kondifikasi dari prinsip hukum laut yang sudah lama yang sudah berusia berabad-abad, yaitu prinsip kebebasan dilaut lepas.
Wilayah Negara yang sebagian besar berupa laut yang sangat luas dan mempunyai posisi strategis, baik aspek ekologis, ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini menuntut Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan Nusantara perlu membangun pemerintahan yang berorientasi kelautan (ocean governance) agar mernjadi negara maritim yang maju dan kuat, sehingga Bidang Kelautan memerlukan mekanisme pengaturan kebijakan yang komprehensif dan terpadu.
Manajemen kelautan ini sesuai dengan Pasal 5, 18, 20, 25A dan 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya. Disamping itu Bangsa ini telah mensyahkan konvensi PBB tentang Hukum Laut, sesuai yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Rancangan Undang-Undang Kelautan ini mencakup beberapa pengertian yang berkaitan dengan kelautan, antara lain pengertian laut, kelautan, maritim, kemaritiman, negara kepulauan, wawasan nusantara, sumberdaya pesisir dan lain sebagainya.
RUU juga memuat pengelolaan dan perlindungan serta pemanfaatan wilayah laut yang mendasarkan pada asas-asas tanggungjawab negara, pembangunan berkelanjutan, keterpaduan dan pengelolaan yang berbasis ekosistem dan ekologis, kehati-hatian, kemandirian, prioritas kepentingan nasional, peran serta masyarakat dan asas keadilan dibawah kedaulatan dan jurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia membentang luas di cakrawala katulistiwa dari 94 o sampai 141o Bujur Timur dan 6 o Lintang Utara sampai 11 o Lintang Selatan, dan merupakan negara kepulauan. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dan memiliki garis pantai 81.00 km terpanjang ke dua di dunia, serta luas laut 5,8 juta km2 (G. Jusuf, 1999).Wilayah laut Indonesia mencakup 12 mil laut ke arah luar garis pantai, selain itu Indonesia memiliki wilayah yuridiksi nasional yang meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dan landas kontinen sampai sejauh 350 mil dari garis pantai. Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982, wilayah laut yang dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan laut teritorial Indonesia dan sisanya sekitar 2,7 juta km2 perairan ZEE.Wilayah Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati, hal ini dimungkinkan karena Indonesia terletak diatara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, juga diantara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia.
Wilayah laut menjadi sangat penting dengan dicantumkannya pada GBHN tahun 1993, dan didirikannya Departemen Kelautan dan Perikanan. Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 juga mencantumkan kelautan sebagai bagian dari otonomi daerah.

B. Perumusan Masalah
Kepentingan negara-negara untuk menguasai sumberdaya kelautan merupakan hal yang melatarbelakangi perkembangan pengaturan terhadap laut, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada awalnya kepentingan ini didasari pada kebutuhan negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, dimulai dengan kebutuhan akan sumberdaya perikanan dan diikuti dengan minyak dan gas bumi, yang melahirkan tuntutan atas laut territorial dan landas kontinen.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata bahwa bagian-bagian laut tersebut tidak mencukupi kepentingan negara-negara, sehingga timbul perbagai masalah, antara lain dalam bentuk sengketa perikanan.
Dalam pada itu lebih dari sepe-rempat abad yang lalu masyarakat internasional telah menyadari dampak negatif dari kegiatan manusia terhadap lingkungan hidupnya dan oleh karenanya merasa perlu untuk mencari suatu pola pengelolaan lingkungan hidup yang dapat mengurangi bahkan menghapuskan dampak negatif demikian. Pada tahun 1987 Brundtland Report merekomen-dasikan pola pembangunan berkesinam-bungan atau Sustainable Development berupa pola pembangunan yang dapat mewujudkan kepentingan masa kini tanpa mengabaikan kepentingan generasi yang akan datang.
Laporan yang sama juga menguraikan ancaman-ancaman yang timbul terhadap laut dan berkesimpulan bahwa pengelolaan laut secara tepat diperlukan untuk mencapai pembangunan laut yang berkesinambungan.

BAB II

Salah satu perbedaan radikal antara hukum laut klasik dengan hukum baru tercermin dalam prinsip zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dalam hal ini perlu dikemukakan beberpa hal mengenai jalannya perundingan yang mengakibatkan timbul perubahan ini.
Zona Ekonomi Ekslusif diartikan sebagai suatu daerah diluar laut teritorial (pasal 55 dan 57).

Tidak ada komentar: