Kamis, 29 Januari 2009

Makalah Poligami

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul
Pemilihan judul dalam suatu makalah sangatlah penting, hal ini dikarenakan, alasan pemilihan judul merupakan faktor utama dalah pembuatan sebuah makalah. Dalam makalah ini saya mengkaji tentang POLIGAMI. Yang dimana kita tahu bahwa poligami sekarang ini merupkan sebuah polemik yang besar dikalangan masyarakat Indonesia.
Poligami sekarang dijadikan sebagai ajang tradisi dikalangan para suami-suami. Padahal kita tahu sendiri bahwa poligami tersebut bukanlah ha yang wajib dilakukan oleh para suami.
Dewasa ini banyak masyarakat khususnya kaum suami yang salah mengartikan arti poligami sesungguhnya. Padahal kita tahu bahwa poligami diperbolehkan apabila ada sesuatu hal yang dimana seorang isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
Tapi nyatanya banyak sekali orang yang menganggap bahwa poligami itu boleh, tapi ada juga yang tidak. Poligami sangat menjadi kontroversi si sebagian kalangan masyarakat, ada masyarakat yang pro dan ada juga yang kontra. Semua menganggap apa yang mereka perjuangkan itu benar.
Dalam makalah ini saya akan menjelaskan hubungan poligami dengan sejarah, hubungan poligami dengan agama islam dan pengertian poligami itu sendiri.

B. Perumusan Masalah
Kita pasti sudah tahu, bahwa poligami akhir-akhir ini sering meresahkan para isteri-isteri, yang resah akibat mewabahnya poligami. Hal seperti ini yang membuat permasalahan semakin rumit. Poligami sendiri bukanlah hal yang sangat meresahkan, tetapi masyarakat atau orang-orang tertentu saja yang terlalu mengekspos hal tersebut.
Poligami sebenarnya diperbolehkan bagi para suami yang telah menikah, apabila isteri terdahulunya tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri atau isterinya tersebut dalam keadaan sakit atau isterinya tersebut tidak dapat memberikan keturunan.
Hal tersebut diperbolehkan tetapi atas persetujuan si isteri terdahulunya juga, apabila isterinya memperbolehkannya maka niat untuk berpoligami pun syah menurut agama. Selanjutnya suami tersebut harus bisa berprilaku adil antara si isteri tua dan isteri mudanya, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan atau kecemburuan yang dapat mengakibatkan putusnya tali silahturahmi.
Poligami sendiri mengandung arti bahwa seorang suami melakukan pernikahan ke 2nya tanpa menceraikan si isteri tuanya dengan melakukan permintaan izin terlebih dahulu terhadap isteri tua. Artinya pernikahan tersebut dilakukan tanpa menceraikan si isteri tua. Asalkan dilakukan dengan niat yang baik, atas izin isteri terdahunya dan dapat berbuat adil terjadap keduaduanya.
Tetapi ada juga isteri yang tidak mau dipoligami artinya ia syah-syah saja, sebagai wanita pasti sangat berat untuk dapat berbagi suami untuk wanit alain. Apabila si suami telah meminta izin kepada si isteri tua untuk berpoligami dan isteri tuanya tersebut tidak memperbolehkannya, maka apabila suaminya tersebut tetap melakukan pernikahan tanpa restu dari isteri tua maka pernikahan yang dilakukannya tersebut adalah haram hukumnya.
Yang jadi permasalahan disini adalah salah arti dari masyarakat akan pengertian poligami, kita apun tahu bahwa poligami sekarang ini sangat mengganggu sebagian kalangan dan sangat meresahkan masyarakat, dari kalangan masyarakat biasa, para perjabat dan anak-anak.
Dan yang akan diperbaiki disini adalah cara pandang seseorang akan poligami tersebut , Dan dalam makalah ini saya akan menjelaskan apa dan bagaimana hubungan poligami tesebut di dalam ajaran agama islam dan dalam hubungan sejarah.

BAB II

Islam adalah agama universal yang mengatur segenap tatanan kehidupan manusia. Sistem dan konsep yang dibawa Islam
sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim, tapi dapat dinikmati siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas ruang dan waktu, tetapi selalu laik diterapkan kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan faktor-faktor kekhususan suatu masayarakat. Semakin utuh konsep itu diaplikasikan, semakin besar manfaat yang diraih.
Di sisi lain, syariat Islam banyak dipahami orang secara keliru. Penyebab utama adalah factor “keawaman” terhadap hukum Allah ini. Juga tak bisa dipungkiri keterlibatan Barat dalam memperburuk asumsi itu.
Allah SWT yang menciptakan manusia, tidak mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk sikap, sifat dan kecenderungan manusia dengan segala tabiatnya, baik dia jenis laki-laki maupun wanita, baik secara individu maupun sosial.
Di antara beberapa hukum yang mendapat perhatian Allah SWT dalam kaitannya dengan manusia adalah hukum poligami (ta’addud zaujat). Poligami merupakan persoalan kemanusiaan dan masyarakat yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Bukan karena Islam telah menurunkan syariat tentang itu, tapi jauh sebelumnya persoalan poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di setiap zaman.
Pada zaman kini pun banyak kita temukan pendapat pro dan kontra di
sekitar persoalan ini. Sebagian masyarakat dewasa ini banyak melihat dengan
sebelah mata terhadap lelaki yang mempunyai lebih dari satu isteri. Bahkan
orang yang berpoligami terkadang menjadi buah bibir dan cemoohan di masyarakat.
Banyak tuduhan negatif yang dilemparkan kepada mereka yang berpoligami. Hal ini disebabkan suatu kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka sering menimbulkan masalah dalam keluarganya. Di sisi lain ada orang yang berpandangan bahwa poligami adalah sunnah Rasulullah SAW sehingga mendorongnya untuk melakukan ibadat sunnah sebanyak-banyaknya, termasuk berpoligami.
Bahkan ada sebagian orang berpendapat bahwa poligami adalah suatu kewajiban sesuai dengan ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa kalimat (amr) perintah dalam Al-Qur’an tersebut mengandung hukukm wajib. Lalu bagaimana sebenarnya Islam menyikapi persoalan ini?. Tulisan ini mencoba mengetengahkanpersoalan di atas menurut pandangan Islam. Harapan penulis semoga tulisan yang sederhana ini menambah wawasan pengetahuan kita tentang ajaran Islam universal, meskipun penulis sadar bahwa hal ini belum sepenuhnya mendudukkan persoalan pada proporsinya yang sesuai dengan Islam.

A. Poligami Dalam Tinjauan Historis
Persoalan poligami bukan hanya eksis pada masa Islam, ia telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa terdahulu., seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia. Bahkan bangsa Cina pernah mempunyai undang-undang yang membolehkan laki-laki berpoligami dengan 130 wanita. Sejarah Cina juga pernah mencatat bahwa salah seorang bangsawannya pernah memiliki isteri sebanyak 30.000 isteri.
Bangsa Yahudi pun tidak berbeda dengan bangsa lainnya. Ia
membolehkan pengikutnya berpolgami. Bahkan para nabi Bani Israil, tanpa
terkecuali, mempunyai banyak isteri. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari orang merdeka dan 300 wanita dari kalangan hamba sahaya.
Dalam Bibel, meskipun tidak ada ayat-ayat yang menyentuh poligami,
tapi tidak ada satu ayat pun yang melarang poligami. Di sana Cuma ada nasehat
bahwa Tuhan telah menjadikan bagi laki-laki seorang isteri. Secara tersirat,
ayat ini mengandung pengertaian bahwa boleh berpoligami dalam situasi tertentu, sebab tidak ada yang menyebutkan bahwa bila seseorang kawin dengan isteri kedua disebut sebagai penzina. Meskipun dalam Bibel tidak disebutkan secara sarih, tapi surat Paulus menyebutkan bolehnya berpoligami. Surat Paulus itu berbunyi: “Seorang uskup hanya boleh memiliki satu isteri”. Bunyi surat ini mengandung arti boleh berpoligami bagi selain uskup.
Waster Mark, pakar sejarah perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua isteri.
Marthin Luther pun sering berbicara tentang poligami dan tak seorang
pun mengingkarinya. Pada tahun 1949 penduduk Bonn pernah mengajukan tuntutan kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum dibolehkannya poligami dalam undang-undang Jerman.
Memang para pakar telah banyak memuji hukum poligami, di
antaranya Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi
poligami pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam
Perjanjian Lama. Dalam sejarah pun pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan seorang yang telah masuk Islam untuk mencerai isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan untuk cukup dengan empat isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah telah terjadi poligami.

B. Poligami dan Islam
Dalam Islam masalah poligami sudah tidak asing lagi. Dan justrtu ramainya perbincangan tentang poligami lebih dikarenakan ia ada dalam hokum Islam yang dewasa ini Islam menjadi sasaran serangan kaum yang benci terhadap Islam, terlebih setelah timbulnya analisis dari seorang pakar futurulog Samuel Huntington yang menyatakan bahwa setelah runtuhnya masa perang dingin dengan Uni Soviet (komunis), akan terjadi pertentangan antara peradaban Barat dengan Islam.
Dalam menyikapi persoalan poligami, ada dua ayat dalam surat An-Nisa
yang saling berhubungan untuk mengambil suatu natijah hukum, atau paling tidak mengenal lebih proporsional kedudukan poligami dalam Islam.
Ayat pertama terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi: وان
خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب
لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم
ألاتعدلو فواحدة أو ما ملكت أيمنكم ذلك أدنى
ألا تعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Ani-Nisa: 3) Ayat berikutnya firman Allah SWT:
ولن تستطيع أن تعدلوا بين
النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل
فتذروها كالمعلقة وأن تصلحوا وتتقوا فا ن
الله كان غفورا رحيما
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu jangan kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(An-Nisa: 129)
Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan sebagaimana
yang dipahami pula oleh Jumhur muslimin sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in
dan masa tumbuhnya ijtihad sebagai berikut: Hukum poligami hingga empat
isteri adalah mubah, karena lafadz “fankihu” walaupun berupa amr
(perintah) tapi mengandung makna mubah, bukan wajib. Sebagaimana hal itu pun menjadi pendapat jumhur mujtahidin dalam setiap masa. Oleh karena itu
pendapat yang mengatakan bolehnya berpoligami lebih dari empat adalah
pendapat yang tidak berdasar.
Mubahnya hukum pilogami harus dengan syarat dapat berbuat
adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat
adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun demikian bila orang tersebut
melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya tetap sah menurut ijma’
(konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa. Para ulama sepakat,
sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah SAW, bahwa yang
dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam pengertian segi
materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan mu’amalah kepada isteri.
Ayat pertama menunjukkan persyaratan kemampuan memberi nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya. Hal ini berdasarkan lafadz “an laa ta’uulu” yang berarti jangan memperbanyak keluargamu. Ini merupakan tafsir ma’tsur dari Imam Syafi’i. Persyaratan ini merupakan syarat keagamaan bukan syarat qodlo’ (sah atau tidaknya perbuatan).
Ayat kedua memberi gambaran bahwa berbuat adil dalam mencintai isteri-isteri adalah suatu hal di luar kemampuan. Oleh karena itu sang suami hendaknya jangan terlalu berpaling membiarkan isteri pertama sehingga terkatung-katung, digauli tidak, diceraikan pun tidak. Tapi hendaknya sang suami dapat menggaulinya dengan lemah lembut dan baik semampunya, sehingga dapat meraih cintanya lagi. Oleh sebab itu ketika Rasulullah SAW berusaha berbuat adil terhadap iateri-isterinya beliau berkata: اللهم
هذا قسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا
أملك
“Ya Allah, inilah bagaianku yang ku miliki, janganlah Kau
hukum aku pada apa yang tak ku miliki” Namun demikian, di sisi lain ada
sebagian orang memahami kedua ayat di atas sebagai sesuatu larangan
berpoligami. Mereka mendasrkan pendapatnya bahwa ayat pertama mensyaratkan adil terhadap isteri-isteri, sedangkan ayat ke dua menunjukkan kemustahilan melakukannya. Sehingga, menurut mereka, poligami disyaratkan dengan suatu syarat yang mustahil terwujud, jadi poligami adalah dilarang.
Tentunya pendapat mereka ini mempunyai kelemahan dan dapat dibantah dari beberapa tinjauan:
Bahwa dalil yang menjadi syarat pada ayat pertama bukan adil yang
disebutkan pada ayat kedua. Yang dimaksud dengan adil pada ayat pertama
adalah adil yang masih mungkin dapat dilakukan suami, yaitu adil yang
bersifat materi seperti pakaian, nafkah dan lain sebagainya. Sedangan adil
yang tidak mungkin terwujud –seperti yang tersebut pada ayat ke dua- adalah
adil maknawi (abstrak) seperti rasa cinta dan kecendrungan hati. Sebab
biasanya bila seorang kawin lagi dengan wanita kedua, ia lebih cenderung
berpaling dari isteri pertama. Namun demikian, adil bersifat materi tetap
menjadi syarat kelangsungan berpoligami.
Allah hanya memberi taklif (kewajiban) kepada hambanya yang mampu, padahal dalam ayat kedua jelas-jelas Allah menyatakan ketidakmampuan manusia berbuat adil maknawi. Oleh karena itu Allah
tidak akan menghukum dan menyalahkan orang yang memang jelas-jelas tidak
mampu melakukannya dan oleh karena itu, adil pada ayat kedua tidak di tuntut
oleh Allah SWT.
Jika Allah melarang poligami, maka mengapa Allah berfirman pada
ayat pertama “Nikahilah wanita-wanita yang baik; dua, tiga, empat”?. Jika
Allah bermaksud melarang, mengapa tidak langsung saja berkata: “Janganlah
kawin dua dan seterusnya”?
Jika poligami dilarang dalam Islam, mengapa Rasulullah SAW
menyetujui poligami para sahabat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasululla
SAW pernah mengizinkan poligami hingga empat wanita tatkala banyaknya orang
masuk Islam dan memiliki lebih dari empat isteri, lalu rasulullah SAW
membatasinya hingga empat saja. Di samping itu sejarah membuktikan
bahwa para sahabat, tabi’in dan para ulama ada yang berpoligami. Maka tidak
mungkin pula kita mengatakan bahwa mereka salah dalam memahami dua ayat di atas. Karena para sahabat, tabi’in dan ulama adalah orang yang mengerti akan ajaran Islam.

C. Islam dan Reformasi Poligami
Sebagaimana disebutkan di awal Tulsan ini bahwa praktek
poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Maka ketika Islam datang ia telah
melakukan beberapa reformasi dalam bidang poligami, di antaranya adalah
pembatasan poligami hingga empat wanita saja. Karena sebagaimana ditemukan pada masyarakat Jahiliyyah bahwa seorang laki-laki boleh mengawini lebih dari empat wanita.
Bentuk refomasi lainnya adalah bahwa Islam menekankan berbuat adil
terhadap isteri-isteri. Contoh yang jelas dalam masalah ini adalah ketika
Rasulullah SAW sakitnya keras dan mendekati kematian. Beliau ingin sekali
bermalam di setiap isteri-isterinya hingga ketika tidak bisa lagi berjalan
beliau meminta ijin kepada isteri-isterinya untuk tinggal di tempat Aisyah
ra.
Bentuk reformasi lain adalah bahwa Islam telah menanamkan rasa takut
kepada Allah SWT. Dengan demikian ketika menghadapi isterinya, seorang muslim tidak berbuat semena-mena dan semaunya. Ia menjadi orang tawadhu’ dan berbuat baik terhadap isteri-isterinya.
Dengan pendidikan Islam seperti inilah terwujudnya ketenteraman, hilangnya cemburu buta dan kerukunan di antara anggota keluarga. Rumah tanggal ideal seperti inilah yang pernah dialami para sahabat dan orang-orang yang bertakwa pada masa permulaan Islam.


D. Urgensi Poligami Secara Sosial.
Dalam sekala sosial, poligami mempunayi beberapa urgensi:
Pertama, dalam situasi normal. Sering terjadi populasi wanita melebihi jumlah pria, sebagaimana yang ditemukan di negara-negara Eropa Utara. Pada masa di mana tidak ditemukan peperangan, biasanya jumlah kaum hawa lebih banyak dari kaum Adam. Salah seorang dokter bersalin di Helsinky, Finlandia pernah berkata bahwa setiap terjadi kelahiran empat bayi, satu dari padanya adalah bayi laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari kemaslahatan etika maupun sosial.
Poligami dalam kondisi ini lebih baik dari pada ditemukannya wanita-wanita yang tak mendapatkan jodoh bergentayangan di jalan-jalan, tidak punya keluarga, tidak pula rumah. Keadaan ini dapat mengundang kejahatan dan perilaku negatif serta penyakit sosial.
Oleh karena itu sejak awal abad ini, para pakar Barat yang sadar
akan bahaya pelarangan poligami telah mewanti-wanti bahaya pelarangan tersebut dengan timbulnya kenakalan wanita dan lahirnya anak-anak tanpa ayah. Dalam edisinya tanggal 20 April 1901 harian “Lagos Weekly Record” pernah memuat tulisan yang dinukil dari dari harian “London Trust” tulisan seorang wanita Inggris yang berbunyi: “Telah banyak wanita jalanan di tengah-tengah masyarakat kita, tapi sedikit sekali para ilmuwan membahas sebab-sebabnya. Saya adalah seorang wanita yang hati ini merasa pedih menyaksikan pemandangan ini.
Tapi kesedihanku tak bermanfaat apa-apa, maka tidak ada jalan lain kecuali menghilangkan kondisi ini. Maka benarlah apa yang dilakukan seorang ilmuwan bernama Thomas, ia telah melihat penyakit ini dan menyebutkan obatnya, yaitu “membolehkan laki-laki kawin dengan lebih dari satu wanita”. Dengan cara inilah segala musibah akan berlalu, dan genarasi wanita kita akan mempunyai rumah tangga. Bencana yang besar kini adalah karena memaksa pria Eropa untuk cukup kawin dengan satu orang wanita”.
Kedua, dalam kodisi di mana jumlah laki-laki lebih sedikit dari jumlah wanita akibat pertempuran atau bencana alam. Dalam kondisi ini maka poligami menjadi urgen bagi tatanan sosial seperti yang terjadi pada masa perang dunia.

E. Urgensi Poligami Secara Individual
Di samping urgensi poligami secara sosial, ada beberapa
hal sehingga secara individual pun poligami menjadi sesuatu yang sangat urgen.
Antara lain adalah:
Pertama, bila seorang isteri mandul sementara sang suami
ingin sekali memiliki keturunan. Keinginan memiliki keturunan adalah sesuatu
hal yang wajar dan fitrah. Dalam situasi seperti ini hanya ada dua kemungkinan: mencerai isteri mandul atau kawin lagi. Tentunya mempertahankan perkawinan bagi seorang laki-laki dan wanita adalah lebih baik dari pada bercerai. Biasanya seorang wanita yang mandul lebih memilih dimadu dari pada hidup sendirian. Sebab bila memilih cerai, ia khawatir tidak ada lelaki lain yang ingin mengawininya.
Kedua, bila isteri mempunyai suatu penyakit yang menyebabkan
suami tidak bisa menggaulinya. Bila dicerai biasanya suami akan merasa malu
terhadap masyarakatnya, demikian juga isteri akan merasa tidak berarti lagi
dalam hidupnya. Sementara itu kebutuhan biologis suami harus tetap dipenuhi.
Oleh karena itu dalam keadaan demikian, maka poligami adalah jalan keluar dari persoalan di atas.
Ketiga, keadan laki-laki mempunyai kecendrungan hiper sex
yang bila hanya satu isteri, kebutuhannya tidak terpenuhi, baik karena sang
isteri memasuki masa monopause maupun disebabkan datang bulan (haid). Dalam keadaan ini tentunya poligami adalah tindakan yang paling baik dibandingkan harus “jajan” di tempat-tempat mesum. Dari keterangan di atas tentang beberapa keadaan di mana poligami menjadi begitu urgen bagi seorang laki-laki, timbul pertanyaan, mengapa tidak diberi kesempatan pula kepada wanita untuk melakukan hal yang sama, yaitu dengan melakukan poiandri (mempunyai lebih dari satu suami) ?. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan simple saja. Yaitu bahwa persamaan hak dalam masalah poligami antara laki-laki dan wanita adalah perkara yang mustahil. Sebab berapa pun jumlah suami seorang wanita, ia tetap akan hamil dan melahirkan setahun sekali. Berbeda dengan laki-laki yang bisa saja mempunyai beberapa anak dari isteri-isterinya. Bila seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami, kepada siapakah anaknya nanti akan dinisbatkan ? apakah kepada mas Slamet, le Toha atau kang Dandi ? atau di sebut bin rame-rame ?. Di samping itu, siapakah yang akan menjadi kepala keluarganya ? Mungkinkah kepala keluarga dipegang oleh orang banyak?.

F. Poligami dan Umat Islam
Kini Setelah timbulnya kesadran umat Islam tentang besarnya
pengaruh pemikiran Barat melalui jalur informasi, buku-buku dan para
orientalisnya, para pakar Islam berupaya untuk menata kembali masyarakat Islam agar bangkit dari tidurnya.
Di antara pemikiran Barat yang banyak mempengaruhi pola pikir umat Islam adalah melempar keraguan kepada umat Islam tentang hukum poligami. Sehingga persoalan ini menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Sayangnya, banyaknya timbul poligami di kalangan umat Islam dewasa ini justru terjadi di saat umat Islam tidak mengenal agamanya, jauhnya dari hukum Islam dan akhlak Islam sehingga menyebabkan timbulnya penyakit sosial di masyaraklat muslim. Di tengah kondisi keterbelakangan inilah kaum orientalis Barat menyerang agama Islam dengan sangat empuknya.
Oleh Karena itu, para pakar muslim terpanggil untuk menjawab segala tuduhan dan serangan mereka tentang poligami. Di antara para pakar yang banyak menanggapi persoalan ini adalah Syeikh Muhammad Abduh, Beliau menulis tentang bahaya poligami yang beliau saksikan sendiri pada masanya. Beliau pernah menyampaikan ceramah di Al Azhar yang salah seorang mahasiswanya bernama Rasyid Ridlo. Perkuliahan ini kemudian dimuat dalam majalah “Al Mannar” yang kemudian dikutip dalam kitab
tafsirnya (juz 4/349).

G. Rasulullah SAW dan Poligami
Sebelum mengakhiri tulisan tentang poligami, kurang lengkap rasanya bila kita tidak membahas tetang perkawinan dan poligami Rasulullah SAW. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di antara beberapa hukum yang diturunkan kepada Rasulullah SAW untuk umatnya, ada beberapa hukum yang hanya khusus diberlakukan kepada Rasulullah SAW. Di antaranya adalah kewajiban qiyamullail bagi Rasulullah SAW dan dibolehkannya berpoligami lebih dari empat wanita. Kekhususan ini disebabkan beliau adalah seorang Rasul dan karena ada hikmah tertentu yang Allah SWT inginkan.
Namun demikian pihak musuh Islam selalu mencari jalan untuk dapat mengkritik Rasulullah SAW agar umatnya tidak lagi menaruh hormat kepada nabinya atau menanamkan keraguan terhadap rasulnya. Karenanya mereka tidak segan-segan melempar tuduhan kepada pribadi beliau.
Di antara tuduhan mereka terhadap Rasulullah SAW adalah masalah
poligami. Mereka menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat haus sex, tukang main perempuan dan lain sebagainya. Oleh karena itu ia tidak puas hanya dengan satu wanita. Ia juga sangat berbeda dengan Yesus (maksud mereka Isa as). Isa adalah orang yang suci, tidak pernah mengumbar nafsunya, tidak seperti Muhammad.
Untuk menjawab tuduhan di atas, ada dua hal penting yang
harus kita ingat: Rasulullah SAW tidak pernah mengawini wanita lebih dari
satu, kecuali setelah beliau memasuki usia senja, yaitu usia lebih dari 50
tahun. Seluruh isteri-isteri Rasulullah SAW berstatus janda, kecuali hanya Aisyahra.
Dari dua point ini dapat kita simpulkan, bahwa meskipun
sebagai seorang manusia dan mempunyai nafsu birahi serta tidak menutup
kemungkinan ada dorongan naluri manusia dalam mengawini wanita-wanita, tapi di balik itu semua ada maksud luhur. Oleh karena itu untuk mengatakan bahwa perkawinan Rasul dengan banyak wanita sama denga poligami yang dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang atau disamakan dengan kebutuhan sex orang Barat adalah sebagai sesuatu yang naïf. Hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan, selain dua alasan pokok di atas:
Andai kata semata-mata hanya dorongan syahwat saja, mengapa Rasulullah SAW tidak memilih yang gadis-gadis saja?
Padahal Rasulullah pernah menganjurkan sahabat Jabir bin Abdullah untuk lebih baik mengawini gadis dari pada janda karena seorang gadis lebih bisa
bermesraan dan bercanda.
Seandainya Rasul mau gadis, bukankah beliau bisa saja
meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk memberikam anak gadisnya kepada
Rasulullah SAW ? Bukankah kesetiaan sahabat begitu besar kepada Rasulullah SAW dan siap memberikan apa saja yang diminta ?. Oleh karena itu,
tentu di balik poligami Rasul ada hikmah yang Allah kehendaki. Di antara
hikmah-hikmah tersebut adalah:


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Selain beberapa keunggulan yang terdapat pada sistem poligami, kita juga tidak menutup mata bahwa secara empiris masih dijumpai sisi negatif dari poligami. Sisi negative ini timbul disebabkan beberapa faktor. Namun faktor utama dari segalanya adalah kembali kepada manusianya itu sendiri. Banyak dari kalangan kita yang menyalahgunakan kebolehan polgami ini, di samping itu keislaman dan kesalehan orang yang bersangkutan masih kurang dari yang diharapkan. Maka banyak terjadi berbagai persoalan negatif yang ditimbulkan poligami, antara lain:
Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para isteri.
Persaaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu isteri dari
pada isteri yang lain, atau karena kurang adanya keadilan. Tapi hal ini jarang terkadi bila sang suami dan isteri mengerti hak dan kewajibannya.
Perasaan di atas juga biasanya terwarisi hingga kepada anak-anaknya dari masing-masing isteri, sehingga rasa persaudaraan tidak ada
lagi.
Timbulnya tekanan batin bagi sang isteri pertama, karena biasanya sang suami lebih mencintai isteri barunya. Perasaan ini mengakibatkan isteri pertama kurang bahagia dalam hidupnya.
Poligami juga menjadi penyebab timbulnya genarasi santai,
mereka lebih suka bermejeng di jalanan untuk menghabis-habiskan masa mudanya. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya perhatian dari sang
ayah. Dalam menjalani peraturan agama, memang ada beberapa hal
yang harus kita hadapai dengan pengorbanan. Dalam poligami, kenyataan itu
hampir sama yang ditemukan pada perang (jihad). Di sana ada yang sakit, terluka dan tewas menjadi korban. Tapi bila timbulnya korban adalah suatu hal yang harus terjadi karena suatu kondisi, maka justru segala pengorbanan dan
penderitaan harus dipikul. Oleh karena itu Dr. Musthofa Siba’i dan Muhammad
Qutub menyatakan bahwa poligami dapat dilaksanakan hanya dalam keadaan darurat.
Oleh sebab itu bila seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan pengorbanan dan penderitaan tanpa didasari keadaan darurat, maka sama saja orang itu seperti orang gila.
Sementara itu di sisi lain, kita tidak pula mengatakan bahwa
perasaan yang dialami wanita sebagai sesuatu yang menafikan hukum poligami.
Sebab bila seorang laki-laki tetap melirik wanita lain, akankah ketiadaan hukum
poligami menghilangkan kecenderungan lelaki tersebut ? Bukankah ia bisa saja
menghianati isterinya ? Ia bisa juga berhubungan dan bergaul dengan wanita lain tanpa diketahui sang isteri. Dan hal ini telah terjadi, bahkan meskipun sudah diketahui sang isteri, tapi ia tidak berbuat apa-apa. Inilah yang sering banyak terjadi di masyarakat Barat dan orang-orang yang suka menyeleweng (dalam arti yang sebenarnya, tanpa nikah yang sah). Bila demikian halnya, bukankah lebih baik bila isteri, suami dan wanita lain itu sama-sama tahu dan saling mengenal serta saling rela dan sah ?. Bukankah lebih baik bila dilakukan tanpa melanggar hukum Allah dan RasulNya?. Sehingga keturunan pun jelas dan terhindar dari masksiat?.
Dengan poligami, Rasulullah SAW banyak mengeluarkan wanita yang alim yang dapat mengajarkan wanita lainnya. Isteri-isteri Rasulullah SAW itulah yang mengajarkan agama kepada wanita muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat feminisme (kewanitaan).

Tidak ada komentar: